Senin, 22 April 2013

Masjid Abul Haggag, Pertemuan Tiga Peradaban Besar Manusia

"Dunia adalah buku, dan siapa yang tidak bepergian, maka ia hanya membaca satu halaman saja."

St. Augustine of Hippo (w. 430 M)

Sekitar paruh terakhir abad 14 M, seorang sosiolog muslim tersohor, Ibnu Khaldun (w. 1403), setelah berkeliling dan jalan-jalan santai di Kairo, ia berkata; "siapa yang belum melihat Kairo, maka ia belum menyaksikan kebesaran islam." Ibnu Khaldun mungkin sangat benar, ia tidak bisa menahan decak kagumnya ketika melihat jalanan Kairo ini disesaki oleh deretan karya seni dan arsiktektur muslim yang berjejalan di setiap sudut kota. Horizon langit kota dipenuhi oleh puluhan menara yang menjulang-julang. Sementara hampir di setiap gang banyak dibangun masjid-masjid yang kaya akan seni arsikteturnya. Bagaimana tidak, setiap hari Ibnu Khaldun akan berpapasan dengan madrasah monumental yang baru saja selesai dibangun oleh Sultan Zahir Barquq (w. 1399 M), pendiri Dinasti Mamluk Burji di Mesir. Di dekat madrasah, masih ada panorama karya arsiktektur menakjubkan yang membetot hati Ibnu Khaldun. Sebut saja Madrasah Sultan Nashir Muhamad (w. 1341 M), dengan pintu gerbang bergaya khas ghotik yang diambil dari katedral ketika Acre tumbang tahun 1291 M, dihiasi oleh menaranya yang hanya ada satu-satunya di Kairo, dipoles oleh pahatan dan ukiran khas Afrika Utara. Melihatnya seakan terhempas ke alam surga arsitektur di Andalusia, Fez, Marakesh, atau Granada. Di samping madrasah Nashir Muhamad, ada komplek madrasah, makam, masjid, sekaligus rumah sakit yang membuat siapa saja pecinta arsiktektur akan mabuk kepayang ketika melihatnya dari dekat. Komplek itu dibangun oleh ayahanda Nashir Muhamad, yaitu Sultan Manshur Qalawun (w. 1290 M). Jendela dan dinding komplek terpampang megah dengan sentuhan gaya ghotik, sementara interior makam serta ukiran kubahnya bisa membuat mata seorang Ibnu Khaldun terbelalak. Lalu setiap sore, setelah selesai mengajar di sekolah-sekolah, Ibnu Khaldun kembali melihat senja Kairo dipenuhi oleh menara yang memenuhi kaki langit, membentuk siluet bak sihir yang membuat siapa saja akan terpana, dan betah berlama-lama menyusuri kota seribu menara ini.  

Kecintaan Ibnu Khaldun terhadap sejarah serta peradaban manusia itu ditularkan kepada murid kesayangannya, yang nantinya akan menjadi sosok sejarawan yang namanya harum, disebut-sebut sebagai rujukan paling pucuk dalam sejarah panjang perjalanan islam di Mesir, ia adalah al-Maqrizi (w. 1442 M). Nantinya, murid Ibnu Khaldun ini mengarang deretan buku sejarah yang sampai sekarang dijadikan pegangan, seperti al-khitot al-maqriziyah, dan al-suluk lima'rifati duwal al-muluk. 

Sampai sekarang pun, aku masih bisa menikmati puluhan masjid bersejarah di seantero kota Kairo yang sibuk ini. Menara-menaranya yang usang tak kalah bersaing dengan deretan gedung-gedung raksasa yang banyak dijejelkan di jantung pusat peradaban islam tandingan Cordoba ini. Tidak heran memang, islam sudah ada di kota ini sejak abad ke-7, penaklukan Mesir oleh sahabat Nabi Amru bin Ash dilanjutkan oleh sejumlah dinasti raksasa yang mewarnai perjalanan peradaban Mesir. Mereka meninggalkan warisan peninggalan berupa puluhan bahkan ratusan masjid, madrasah, khanqah, sabil, sabil kutab, karavanserai, rubu', Hod, khan, dan komplek pemakaman yang sampai sekarang masih bisa dilihat dan diraba. Peninggalan-peninggalan tersebut dengan sangat jelas menampilkan kepiawaian muslim dulu dalam bidang seni dan arsitektur. Aroma melting pot antar beberapa budaya dan tradisi lintas agama Nampak terlihat di sebagian monument tersebut, menandakan para pemeluk agama ini sudah sejak lama berinteraksi dengan dunia luar, dunia lain, yang juga sama-sama menyimpan prestasi dan peradaban yang memukau. 
patung Ibnu Khaldun di Tunisia

Akan tetapi, bagi pecinta arsitektur, Mesir tidak saja menampilkan sederet panorama seni pahat dan ukir yang berbau islam. Di balik debu, Mesir menyembunyikan peradaban lain, yang lebih dikenal, dan dikenang abadi oleh masa. Potret peradaban Mesir paling banyak menorehkan decak kagum umat manusia adalah peradaban Mesir Kuno yang membentang panjang lebih dari 3 milenia sebelum nabi Isa lahir. Kini, peninggalan peradaban Mesir Kuno hampir bisa didapati di seluruh kawasan dekat sungai Nil, membentang dari Pengantin Laut Tengah Aleksandria di Utara Mesir, sampai lembah nun jauh di Luxor dan Aswan di selatan.
Sekarang, situs-situs peninggalan dinasti raksasa ini dijejali oleh ribuan turis setiap tahun. Pecinta peradaban dan sejarah akan dimanjakan oleh deretan bangunan dan monumen elegan seperti kuil, pyramida, makam, ruangan bergaya hypostyle, rumah kelahiran, relief, makam berwarna, mumi, tiang-tiang raksasa, sphinx, obelisk dan lainnnya. Sebut saja tiga piramida raksasa di Giza, dekat Kairo, yang terpampang elegan dan menjulang menakutkan di horizon. Piramida agung Giza dibangun pada masa dinasti ke-4 Kerajaan Lama (Old Kingdom=memanjang dari dinasti ke-4 sampai dinasti ke-8, sekitar 2575-2134 SM) oleh tiga raja terkenal dalam semesta Mesir Kuno, yaitu Khufu, dilanjut anaknya Kafhre, lalu cucu Khufu bernama Menkaura. Piramida raja Khufu yang terbesar misalnya, dibangun oleh lebih dari 20.000 pekerja. Mereka diperintahkan menyusun lebih dari 2 juta balok batu untuk membangun sebuah makam sang raja. Sementara itu Sang Bapa Terror, atau Sphinx, terpampang gagah menjaga piramida Kafhre seakan siap menerkam siapa saja yang berani mengusik ketenangan sang raja. Di Karnak, Luxor, misalnya, sebuah kuil megah dibangun untuk dipersembahkan kepada Raja Segala Tuhan, Amun-Ra. Tidak jauh dari Karnak, kuil terpampang sangar di jantung kota Luxor, dibangun pada masa Dinasti Kerajaan Baru (New Kingdom=memanjang dari dinasti ke-18 sampai dinasti ke-20, dari tahun 1550 sampai 1070 SM) melaui titah Raja Amenophis III dan selesai pada masa raja diraja Ramses II. Makam raja-raja Mesir terkenal seperti Tutankhamun misalnya, ditemukan tidak jauh dari Luxor, yaitu kawasan terkenal sejagat bernama Lembah Para Raja (Valley of The Kings). Tak jauh dari sana, Ratu cantik kekasih Ramses II, Nefertari, beristirahat di Lembah Para Ratu (Valley of The Queens).  


Menuju Qina

Bagiku, menikmati peninggalan purbakala baik masa-masa islam klasik maupun Mesir Kuno menjadi kesenangan tersendiri. Tapi, untuk pergi ke luar Kairo dan melihat dari dekat peninggalan Mesir Kuno, aku harus merogeh kocek minimal 100 dolar, jumlah uang yang tidak sedikit bagiku yang seorang kutu kupret dan petualang apa adanya. Untuk bisa menikmati setiap jengkal monumen-monumen tua di Qina, Luxor, atau Abu Simbel, aku harus memiliki persediaan materi yang tidak sedikit, karena situs-situs tua di sana sulit ditaklukkan oleh kartu pelajar al-Azhar yang aku jadikan jimat di Kairo. Tapi, musim semi tahun ini rupanya sudah menyiapkan kejutan besar buatku. Pagi-pagi, handphone Nokia jadulku berdering berkali-kali. Aku angkat dan langsung mendengar suara kawanku dengan nada tergesa-gesa mengajakku untuk cepat menuju depan masjid Syarbini (letak mesjid sangat dekat dengan flatku). Seakan disambar petir, aku kaget bukan main. Kawanku mengajakku untuk cepat-cepat berkemas karena setengah jam lagi mobil bus yang kini tengah parkir di depan masjid akan segera berangkat ke Luxor. Dan yang membuatku melupakan mimpi dikejar hantu tadi malam adalah, aku tidak dipungut biaya se-pound-pun. Girang bukan main. Selama hampir 4 tahun di Mesir, baru kali ini ada kesempatan pergi ke Luxor dengan Cuma-Cuma. Tak banyak fikir, aku langsung berkemas kemudian berlari menuju bus yang tengah parkir tak jauh dari rumahku. Di bus, sudah ada sejumlah mahasiswa yang juga ikut tur gratisan ini. Ketika melihat beberapa mahasiswi Indonesia cantik-cantik di dalam bus, aku baru sadar, ternyata aku belum mandi. Jeez!!

Aku diberitahu kawan bahwa bus akan menuju Qina, sebuah provinsi Mesir Hulu yang terletak sekitar 600 km dari Kairo. Perjalanan ke sana akan memakan waktu kurang lebih 10 jam. Di sana, selama 5 hari, kami akan ditempatkan di asrama mahasiswa di kampus bergengsi Qina, yaitu Universitas Lembah Selatan (South Valley University). Dari Kairo, bus bertolak ke Qina melalui jalur padang pasir yang jauh dari tepian sungai Nil. Setelah melewati kota pinggiran Kairo, Helwan, dan memasuki kawasan Korimat, kami langsung ditemani oleh bentangan padang pasir, lembah, bukit-bukit berbatu, dan pemandangan gersang tak berujung di kanan kiri. 

Sepanjang perjalanan, membelah provinsi Asyut dan Sohag, khayalanku langsung menampilkan sederet situs-situs Mesir Kuno yang sudah lama ingin aku kunjungi. Kuil Karnak, Kuil Luxor, Kuil Dendera, Kuil Ratu Hatshepshut, Kuil Edfu, Esna, Philae, Kom Ombo, dan yang sangat ingin aku kunjungi, masjid Abul Haggag, yang dibangun di atas kuil Ramses, terpampang jelas di fikiranku. Membuat pemandangan mematikan di kanan kiri jalan tidak begitu aku perdulikan. Tetapi, mungkin inilah resiko gratisan, setelah tiba di Kampus tujuan, aku dikabarkan bahwa sebenarnya kami datang ke sini  bukan untuk menikmati secara khusus monumen-monumen kuno itu. Tetapi kami diundang untuk menghadiri acara tertentu, yang tentunya akan meminimalisir porsi petualanganku di sini. Tapi, rasa pesimis itu langsung dibuyarkan oleh kabar dari ketua rombongan, bahwa panitia acara telah menyediakan waktu khusus dua hari untuk mengunjungi situs-situs tertentu baik di Qina, atau di Luxor.  Bagiku, itu sudah lumayan banget, selama dua hari, ada sejumlah situs Mesir kuno yang akan dikunjungi, yaitu Kuil Ratu Hatshepshut, Kuil Karnak, dan hari selanjutnya Kuil Dendera. Mending dapat tiga yang penting gratis, daripada tidak sama sekali. Sisa kuil-kuil lainnya seperti Kom Ombo, Edfu, Esna, Philae, Valley of The Kings, Valley of The Queens, yang sempat mampir di fikiranku bubar begitu saja. Tetapi, ada satu yang harus aku kunjungi, entah bagaimana caranya, yaitu masjid unik yang dibangun di atas Kuil Ramses II di Luxor. Masjid yang merujuk kepada masa-masa islam abad 12-13 M itu bernama Masjid Abul Haggag. Situs peninggalan islam yang membuatku susah tidur kecuali setelah mengunjunginya.

Kuil Hatshepsut di Dir al-Bahari
Hatshepsut, Karnak dan Dendera

Dari Qina, perjalanan menuju Luxor (dulu namanya Thebes) menghabiskan sekitar satu jam setengah. Melewati bentangan bukit kapur sebelah kanan jalan, dan ladang gandum sebelah kiri, aku tidak sabar ingin segera melihat dari dekat peninggalan-peninggalan purbakala yang sampai sekarang menjadi penopang ekonomi Mesir ini. Setibanya di Dir al-Bahari (Biara Utara), sebuah kawasan yang terletak di tepi barat sungai Nil, berhadapan dengan kota Luxor, kami melihat dengan jelas salah satu masterpiece monumen purbakala Mesir Kuno. Kuil Ratu Hatshepsut terpampang elegan di depan kami. Kuil penguburan ini dibangun dibawah komando Ratu Hatshepsut, Penguasa Mesir ke-5 dari dinasti ke-18 (New Kingdom). Puteri dari Raja Tuthmosis I dan isteri dari raja Tuthmosis II ini dianggap sebagai salah satu ratu paling sukses yang memerintah Mesir, masa pemerintahannya dipercayai lebih lama dari seluruh Ratu yang berkuasa (Hatshepsut dipercayai berkuasa dari 1503 sampai 1482 SM). Sekitar 100 anak tangga yang menghubungkan 3 tingkat kuil harus kami naiki untuk tiba ke atas kuil. Sekeliling hanya diisi oleh puing-puing bekas kuil dan tanah gersang. Dulunya, komplek kuil pasti terlihat indah. Ada taman yang hijau, dipenuhi pohon kemenyan, dan air mancur. Di dinding kuil, ada rekaman peristiwa terkenal yang dialami Ratu, yaitu perjalanan ke Tanah Punt. ukiran berupa pepohonan, sebagai salah satu hadiah dari perjalanannya dan nanti ditanam di sekitar kuil, masih bisa dilihat di dinding Kuil. Pada level kuil sebelum puncak, terdapat 3 patung Ratu Hatshepsut berjejer gagah.

detail ukiran dan gambar di dinding kuil
Di beranda yang terletak di ujung selatan, ada Kapel Dewi Hathor, sang Dewi Cinta dan Kecantikan. Bentuk wajah Dewi Hathor terlihat indah dan elegan, dipahat rapih di pucuk pilar-pilar kapel. Secara umum, komplek ini dibangun untuk sang Ratu Hatshepsut, dan Dewa Amun, sesembahan lokal kota Thebes, yang nantinya bermetamorposis menjadi Amun-Ra (dijukuki Rajanya Segala Dewa), setelah Dewa Amun menyatu dengan Dewa Matahari, Ra. Karena Tidak terbiasa dengan sejarah Mesir Kuno, aku pun kurang puas ketika diizinkan mengeksplorasi kuil hanya satu jam saja. Andai dengan biaya sendiri, aku ingin berlama-lama di sini, menikmati detail demi detail sudut-sudut kuil yang ukiran di dindingnya menceritakan kisah-kisah kehidupan masa Hatshepsut hidup.

ukiran pohon di dinding kuil Hatshepsut
Setengah puas, perjalanan dilanjutkan dengan buru-buru ke destinasi paling banyak dikunjungi di bumi Luxor, yaitu Kuil Karnak, sebuah komplek monument yang terbilang mahakarya kuno. Luas Kuil lebih dari 240 Acre, dan terdiri dari deretan monumen yang spektakuler. Karnak diperkirakan menjadi komplek sesembahan terluas yang selamat dan utuh sampai sekarang. Dibangun sebagai kuil 3 Serangkai (Dewa Amun, isterinya Mut, dan sang anak Khonsu), Karnak sampai sekarang menjadi komplek kuil penyembahan terluas yang pernah dibangun manusia. Ruangan raksasa bergaya hypostyle terpampang megah dan menjadi masterpiece arsitektur terbesar sepanjang sejarah. 130 Pilar raksasa menjulang menakutkan, dipadu oleh pahatan dan ukiran hieroglyph yang semarak, juga warna-warni relief yang menyegarkan mata. Di pintu gerbang menuju Kuil Karnak, deretan sphinx berkepala biri-biri jantan berjejer spektakuler. Sphinx biri-biri merupakan simbol Dewa Amun. Pintu masuk bagian barat kuil Karnak ini dikenal dengan nama "Jalan Biri-Biri".

pintu masuk kuil karnak
Terkesima. Aku eksplorasi kawasan kuil Karnak ini dengan buru-buru karena lagi-lagi, kami hanya diizinkan di sini selama satu jam. Keluar dari hutan pilar raksasa, aku kembali disuguhkan oleh dua obelisk yang menjulang mencakar langit. Salah satu obelisk ini dibangun oleh Raja Tuthmosis I (1504-1492 SM), ayah dari ratu Hatshepsut. Berdiri sepanjang 21.3 meter, dengan berat sekitar 143 ton, obelisk ini ditemani oleh obelisk sang ananda, Ratu Hatshespsut (1473-1458 SM) dengan tinggi dan berat melebihi obelisk ayahnya (tinngi 29.6 meter dan berat sekitar 320 ton).

Hypostyle Hall
kawan-kawan menyerukan waktu hampir habis. Aku langsung bergegas mencari bangunan yang didesain khusus untuk menyambut matahari yang kembali kepada titik baliknya di musim dingin. Peristiwa ini dikenal dengan nama Winter Solstice. Bangunan khusus itu terletak di belakang ruangan hypostyle. Kuil didesain dengan lorong yang didekeng dua pilar, khusus dibangun untuk menyambut cahaya matahari yang menyemburat sesaat saat ia terbit dari Timur. Di sini, setiap tahun pada tanggal 21 Desember sejak 1500 SM, raja Mesir Kuno akan berdiri khidmat pada pagi hari, menyaksikan sinar dari Dewa Amun-Ra menyemburat melalui lorong kuil, menerangi alam semesta dan memberikan kehidupan.

***

Esok harinya, aku semakin haus dan penasaran akan peninggalan peradaban Mesir Kuno. Destinasi kali ini adalah kuil Dendera, sebuah kuil yang dipercayai sebagai salah satu peninggalan Mesir Kuno termuda. Catatan arkeolog mengungkap kuil Dendera dibangun sekitar tahun 30 SM sampai 14 M, meskipun pondasi awalnya kembali kepada masa-masa Kerajaan Lama. Dendera terletak tidak jauh dari Qina. Dibangun khusus untuk Hathor, Sang Dewi Cinta sekaligus isteri Dewa Langit, Horus. Struktur bangunan yang sekarang sudah mulai dibangun sebelum kekuasaan Ptolemy VIII  Eurgetes II, dilanjut oleh raja-raja Ptolemik lainnya, sampai selesai masa Romawi. 
 
ukiran di pintu masuk kuil Dendera
Berjalan menuju kuil, kami disuguhi bangunan yang dihiasi oleh 6 tiang berpucuk kepala Dewi Hathor. Pintu masuk ini mengantarkanku kepada ruangan bergaya hypostyle yang ditopang oleh 18 pilar Hathor berukuran besar. Melihat ke langit-langit, aku dibuat terkesima. Tersihir. Hamparan hieroglyph, gambar, relief berwarna biru, kuning, atau merah terpampang jelas di hadapan mata. Tidak hanya langit-langit, pilar ruangan ini juga dipenuhi oleh ukiran menakjubkan. Detail dan warnanya membuatku berlama-lama menengadahkan kepala. Ukiran dan tulisan juga didapati di dinding ruangan, memuat iringan cerita, dongeng, dan pesan-pesan yang tidak aku fahami berdesakan memenuhi dinding ruangan. Semuanya diukir dengan penuh detail. Indah. Spektakuler. Berjalan jauh ke dalam ruangan, aku dihadiahi sekitar 11 kapel atau ruangan yang didedikasikan untuk beragam simbol keagamaan dan dewa-dewi.  Di luar kuil, terdapat basilica Kristen yang dibangun pada abad ke-5 M. sisa-sisa basilica masih utuh, seperti beberapa pintu dengan ukiran salib di atasnya. Basilica di kuil Dendera ini dianggap sebagai contoh memukau yang mempresentasikan bentuk dan arsitektur gereja Koptik masa Romawi. 
 
pilar berkepala Dewi Hathor
Ah. Sensasi yang aku rasakan campur aduk. Sama seperti aku memasuki bangunan-bangunan karya arsitek muslim di Kairo. Penuh detail, memiliki nilai seni tinggi, sakral, segar, penuh warna, dan menyihir. Tiba-tiba rasa penasaranku akan masjid Abul Haggag meningkat. Ingin segera aku ke sana dan melihat bagaimana masjid dibangun diatas kuil Mesir kuno. Dulu, aku penasaran akan masjid yang dibangun di dalam gereja, dan terobati ketika melihat masjid itu berdiri kesepian di dalam monastery raksasa Santa Katarina di kaki gunung Musa di Sinai.  Lalu bagaimana dengan masjid Abul Haggag yang katanya dibangun di atas reruntuhan kuil. Seperti apa rupanya?

Masjid Abul Haggag

Sedikit kecewa setelah mengetahui kami tidak akan diajak tur ke kuil-kuil Mesir kuno lagi. 3 lokasi selama dua hari dirasa sangat minimalis sekali. Ditambah kunjungan yang diburu-buru dan tidak nyaman bersama orang-orang Mesir yang ikut dalam rombongan, membuatku harus mencari celah biar bisa pergi lagi ke Luxor, dan melihat masjid Abul Haggag dari dekat. Aku bersama 3 kawanku, akhirnya nekat untuk kabur seharian dari asrama di Qina. Kami ingin lebih bebas berpetualang, dan yang paling penting, adalah mengobati penyakit penasaran kami akan masjid Abul Haggag. Dari Qina, diam-diam kami mencari angkutan yang mengantarkan kami ke Luxor. Dengan mobil jenis el-tramco, perjalanan ke Luxor hanya diminta ongkos 5 pound saja. Sangat murah. Dan untungnya, jalur yang diambil adalah thoriq ziro'I, atau jalur pesawahan. Jalur ini berbeda dengan thoriq shohrowi atau jalur padang pasir. Melalui jalur pesawahan, kami dihadiahi bentangan pemandangan pedesaan Mesir yang asri. Di samping kanan jalan, cabang sungai nil mengalir begitu tenang, di tepiannya ditumbuhi rerumputan hijau dan pepohonan. Sejauh mata memandang kanan dan kiri, ladang gandum yang siap dipanen pada bulan April ini tampak menguning. Sesekali kami melihat hamparan kebun tebu yang akan dipanen nanti bulan Desember. Jalanan yang sepi, angin sepoi-sepoi, deru suara mobil yang tenang dan pemandangan yang hijau serta segar membuat perjalanan kami ke Luxor menjadi menyenangkan. Satu jam setengah kemudian, kami tiba di Luxor. Kami segera berbegas ke destinasi terkenal yang terletak di jantung kota, yaitu Luxor Temple. Di sinilah, menara masjid Abul Haggag berdiri berdekatan dengan obelisk. 
pilar kuil di ruangan makam Ibnul Haggag

Takjub. Mataku tak henti memandang masjid antik ini dari jauh. Aku cepatkan langkahku menuju masjid yang ternyata pintu masuknya terletak di luar komplek kuil. Sambil menaiki titian tangga, aku tak hentinya tersenyum heran melihat pemandangan luar biasa ini. Kubah, menara masjid, kuil, dan obelisk terletak berdekatan. Dahsyat. Setelah titian tangga, terdapat makam Abul Haggag (Yusuf bin Abdul Rahim bin Yusuf bin Isa al-Zaid, lahir di Baghdad pada permulaan abad ke-6 Hijriah/1150 M, wafat di Luxor pada tahun 642 H/1244 M, seorang ulama muslim juga sufi terkenal, pernah bertemu dengan sufi Abdul Rahim al-Qinawi, yang sekarang makamnya ada di masjid agung Qina, tidak jauh dari Luxor). Masuk ke ruangan makam, lagi-lagi kekagumanku diganjar oleh ketakjuban selanjutnya. Dinding penyangga ruangan ini terbuat dari pilar kuil Mesir kuno. Di pilar itu aku melihat jelas sekali relief Mesir kuno dan tulisan hieroglyph yang merujuk kepada masa Ramses II. Pintu utama masjid ada di sebelah kiri makam, di sana aku dihadang oleh beberapa pilar yang diramaikan oleh tulisan, gambar, dan relief bekas kuil samping masjid. Sungguh perasaan yang sulit digambarkan. Menatap ke langit, sebuah menara kuno terbuat dari tanah liat dan batu bata merah terpampang elegan. Bentuk menara ini baru aku lihat kali ini. Menurut sejarawan, bentuk menara ini khas dengan gaya menara-menara garapan Dinasti Fathimiyah yang dibangun di Mesir Hulu. Menara terdiri dari 3 tingkat, pertama berbentuk segiempat, kedua dan ketiga berbentuk silinder. Menara yang panjangnya mencapai 14 meter ini dianggap sebagai bagian paling tua dari masjid Abul Haggag. Sejarawan arsitektur islam seperti Sir Creswell mengatakan menara dibangun oleh menteri Dinasti Fathimiyah Badruddin al-Gamali, sang penggagas Gerbang Kemenangan (Babul Futuh) di Kairo, lainnya mengatakan menara sudah dibangun sejak masa Dinasti Abasiyah.
ceruk pada salah satu pilar kuil

Persis dibawah menara, sejumlah pilar berjejer kokoh. Menopang atap yang sekarang menjadi bagian masjid dan memuat salah satu makam wali yang dulu hidup di sini. Pilar-pilar serta atapnya masih menyisakan rekaman tulisan Mesir kuno dan gambar-gambar yang mungkin menceritakan kisah Raja Ramses II.  Pilar-pilar ini tidak sengaja ditemukan setelah masjid terkena kebakaran pada tahun 2007. Setelah diperbaiki, pihak purbakala baru sadar masjid ini ternyata dibangun di atas sisa-sisa kuil yang dibangun Ramses II yang sekarang sebagian besar komplek kuilnya bisa dilihat jelas di belakang masjid. Menurut ahli purbakala Farag Fiddoh, Ketua Sektor Purbakala Islam dan koptik, mengatakan pihak purbakala menemukan adanya tulisan serta relief yang menceritakan pemasangan dua obelisk di Kuil Luxor yang dibangun oleh Ramses II. Di dalam masjid, tim purbakala juga menemukan sisa-sisa gereja yang merujuk kepada abad ke-5. Di mana mereka mendapatkan tempat sembahyang yang juga terletak di salah satu pilar pelataran Kuil Ramses II ini. Di depan mimbar, terdapat dua tiang yang berasal dari masa Romawi. Warnanya kuning kontras. Membuat masjid ini semakin semarak akan campuran peradaban. Pertama kuil Ramses, lalu Kristen Koptik, terakhir menjadi masjid. Yang membuatku penasaran, di samping mimbar ada sebuah pilar kuil yang tengahnya dibuat cerukan seperti mihrab, mungkin dulu dipakai untuk mihrab imam dan arah kiblat.  
  
Di dinding timur masjid, Tim purbakala menemukan tulisan dan ukiran Mesir kuno di dalam masjid menceritakan kemenangan-kemenangan Ramses II. Salah satu pilar juga menceritakan 3 serangkai Dewa Thebes (Amon, Mut, dan Khonsu), di samping ukiran Raja Ramses II yang tengah memberikan kurban kepada Dewa Segala Dewa, Amun-Ra. Di antara panorama Mesir Kuno penting yang berhasil ditemukan di dalam masjid adalah landskap yang menceritakan Raja Ramses II tengah menyerahkan kedua obelisk kepada Kuil Amun-Ra. Sampai sekarang, salah satu obelisk itu masih terpampang gagah di gerbang kuil, sementara yang satunya berada di Palace de la Concorde di Paris. Obelisk tersebut dihadiahkan oleh Muhamad Ali Pasha pada tahun 1845 M kepada Raja Prancis Louis Philippe dan sebagai gantinya,  Ali Pasha mendapatkan jam air yang sekarang dipajang kesepian dan terlihat kusam di masjid Muhamad Ali di Citadel, Kairo. 

Yang tidak kalah pentingnya, relief di dalam masjid juga menjadi bukti untuk membebaskan Ramses II dari tuduhan eksploitasi terhadap patung-patung milik Amenhotep III, penggagas Kuil Luxor. Di sana terdapat pemandangan salah satu pembesar Negara tengah memasang 3 patung Ramses, satu mengenakan tutup kepala Mesir Hulu, kedua mengenakan tutup kepala Mesir hilir, dan yang ketiga mengenakan penutup Nemes (tutup kepala khusus para firaun). Ahli purbakala menjadikan relief ini sebagai bukti untuk membebaskan Ramses II dari tuduhan pencurian patung-patung Amenhotep III. 

Dari beranda di samping kiri masjid, kuil Luxor terlihat begitu jelas dan elegan. 14 pilar raksasa setinggi 100 meter garapan Amenhotep III terpampang gagah dan berjejer menakutkan. Setelahnya, sebuah lapangan yang disiapkan untuk Dewa Matahari, terlihat spektakuler karena dikelilingi barisan pilar besar dari kanan kiri. Melihat ke bawah, jelas sekali masjid ini dibangun di atas bagian kuil Luxor, tepatnya di atas pilar-pilar bagian kolom setelah pylon (gerbang) yang dibangun Ramses II. Ketika masjid dibangun, pilar-pilar Ramses II bahkan bagian besar kuil ini terkubur dan terutup pasir. Setelah lama akhirnya masjid dibangun di atas situs gereja koptik yang lebih dulu dibangun di situs yang sama. Ketika situs Kuil Luxor ditemukan pada abad 19 M, penduduk menolak keras usaha pembongkaran masjid Abul Hagag. Bagi mereka, keberadaan masjid dan makam sang sufi bisa mendatangkan barakah. Setiap bulan Sya'ban, masyarakat lokal mengadakan pesta maulid di area ini. Dan hingga kini pesta rakyat itu menjadi tontotan tersendiri bagi turis karena keunikannya. 

Meninggalkan Abu Haggag, perasaanku puas luas biasa. Rasa penasaranku sedikit terobati. Aku baru tahu, Masjid ini menjadi tempat pertemuan tiga perdaban besar umat manusia. Di sampingnya ada kuil Luxor, tempat penyembahan Dewa Amun-Ra, dibawah masjid terdapat sisa-sisa gereja Kristen, dan sekarang horizon langit tidak hanya diisi oleh obelisk, tetapi juga oleh menara masjid yang tidak kalah elegan. Untuk terakhir kalinya, kami duduk di taman sambil menyeruput kopi hitam. Di hadapan kami terpampang pemandangan memukau. Kuil Luxor, obelisk, menara kuno, kubah makam, dan deretan pilar-pilar tempat pemujaan dewa matahari Amun-Ra dihadirkan begitu eksotik. Matahari yang perlahan meninggalkan bumi begitu dramatis menampilkan cahayanya yang memberikan siluet di lokasi pertemuan 3 peradaban besar manusia ini. Jantung kota Luxor mulai gelap, sementara dari menara masjid, azan shalat berkumandang. Di sampingnya, obelisk dan patung raksasa Ramses terlihat elegan terkena cahaya buatan dari bawah. Di belakang masjid, jejeran pilar juga menampilkan orkestra pemandangan tak tertandingi. Cahaya kekuningan dipadu nuansa klasik yang ditampilkan komplek kuil membuat kami sulit untuk meninggalkan tempat ini.  


Luxor, Kota 100 Gerbang

April 2013


Further Reading:

Richard H. Wilkinson, The Complete Temples of Ancient Egypt

Richard H. Wilkinson, The Complete Gods and Goddesses of Ancietn Egypt

Nicolas Grimal, A History of Ancient Egypt

Jill Kamil, Luxor A Guide to Ancient Thebes

Discovery Channel, Insight Guides Egypt

Wikipedia


 
kuil yang dibangun khusus untuk menyambut cahaya Dewa Matahari, Amun-Ra
pemandangan Kuil Karnak

Orang tua di celah masuknya cahaya Matahari saat winter soltice






  








Obelisk di Karnak
 
kuil Dendera

detail ukiran di tempat kelahiran di kuil Dendera


detail di salah satu pilar kuil Dendera

relief dan ukiran di dinding kuil Dendera
pilar dengan kepala Dewi Hathor di ujungnya
ukiran wajah Dewi Hathor
detail salah satu reruntuhan bekas basilika kristen koptik
makam, orang tua, dan pilar kuil

jalan menuju pintu utama masjid

pintu utama masjid
interior masjid
pemandangan Kuil Luxor dari atas masjid
dua tiang kuno di dalam masjid

langit-langit masjid

menara masjid

makam sufi, dan pilar kuil










2 komentar:

  1. trimakasih. tulisan ini sangat membantu saya.

    kalo di masjid al haggag, apakah kita bisa bholat dan berwudhu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-samaa,,,terimakasih sudah berkunjung,,,

      masjid abul haggag sampai sekarang masih bisa digunakan untuk shalat disamping menjadi tujuan wisata sejarah,,,, :)

      Hapus