"Dunia adalah buku, dan siapa yang tidak
bepergian, maka ia hanya membaca satu halaman saja."
St. Augustine of Hippo (w. 430 M)
Sekitar
paruh terakhir abad 14 M, seorang sosiolog muslim tersohor, Ibnu Khaldun (w.
1403), setelah berkeliling dan jalan-jalan santai di Kairo, ia berkata; "siapa
yang belum melihat Kairo, maka ia belum menyaksikan kebesaran islam." Ibnu
Khaldun mungkin sangat benar, ia tidak bisa menahan decak kagumnya ketika
melihat jalanan Kairo ini disesaki oleh deretan karya seni dan arsiktektur
muslim yang berjejalan di setiap sudut kota. Horizon langit kota dipenuhi oleh puluhan
menara yang menjulang-julang. Sementara hampir di setiap gang banyak dibangun
masjid-masjid yang kaya akan seni arsikteturnya. Bagaimana tidak, setiap hari
Ibnu Khaldun akan berpapasan dengan madrasah monumental yang baru saja selesai
dibangun oleh Sultan Zahir Barquq (w. 1399 M), pendiri Dinasti Mamluk Burji di
Mesir. Di dekat madrasah, masih ada panorama karya arsiktektur menakjubkan yang
membetot hati Ibnu Khaldun. Sebut saja Madrasah Sultan Nashir Muhamad (w. 1341
M), dengan pintu gerbang bergaya khas ghotik yang diambil dari katedral ketika
Acre tumbang tahun 1291 M, dihiasi oleh menaranya yang hanya ada satu-satunya
di Kairo, dipoles oleh pahatan dan ukiran khas Afrika Utara. Melihatnya seakan
terhempas ke alam surga arsitektur di Andalusia, Fez, Marakesh, atau Granada.
Di samping madrasah Nashir Muhamad, ada komplek madrasah, makam, masjid,
sekaligus rumah sakit yang membuat siapa saja pecinta arsiktektur akan mabuk
kepayang ketika melihatnya dari dekat. Komplek itu dibangun oleh ayahanda
Nashir Muhamad, yaitu Sultan Manshur Qalawun (w. 1290 M). Jendela dan dinding
komplek terpampang megah dengan sentuhan gaya ghotik, sementara interior makam
serta ukiran kubahnya bisa membuat mata seorang Ibnu Khaldun terbelalak. Lalu setiap
sore, setelah selesai mengajar di sekolah-sekolah, Ibnu Khaldun kembali melihat
senja Kairo dipenuhi oleh menara yang memenuhi kaki langit, membentuk siluet
bak sihir yang membuat siapa saja akan terpana, dan betah berlama-lama
menyusuri kota seribu menara ini.
Kecintaan
Ibnu Khaldun terhadap sejarah serta peradaban manusia itu ditularkan kepada
murid kesayangannya, yang nantinya akan menjadi sosok sejarawan yang namanya
harum, disebut-sebut sebagai rujukan paling pucuk dalam sejarah panjang perjalanan
islam di Mesir, ia adalah al-Maqrizi (w. 1442 M). Nantinya, murid Ibnu Khaldun
ini mengarang deretan buku sejarah yang sampai sekarang dijadikan pegangan,
seperti al-khitot al-maqriziyah, dan al-suluk lima'rifati duwal
al-muluk.
Sampai
sekarang pun, aku masih bisa menikmati puluhan masjid bersejarah di seantero
kota Kairo yang sibuk ini. Menara-menaranya yang usang tak kalah bersaing
dengan deretan gedung-gedung raksasa yang banyak dijejelkan di jantung pusat
peradaban islam tandingan Cordoba ini. Tidak heran memang, islam sudah ada di
kota ini sejak abad ke-7, penaklukan Mesir oleh sahabat Nabi Amru bin Ash
dilanjutkan oleh sejumlah dinasti raksasa yang mewarnai perjalanan peradaban
Mesir. Mereka meninggalkan warisan peninggalan berupa puluhan bahkan ratusan
masjid, madrasah, khanqah, sabil, sabil kutab, karavanserai, rubu',
Hod, khan, dan komplek pemakaman yang sampai sekarang masih bisa dilihat
dan diraba. Peninggalan-peninggalan tersebut dengan sangat jelas menampilkan
kepiawaian muslim dulu dalam bidang seni dan arsitektur. Aroma melting pot antar
beberapa budaya dan tradisi lintas agama Nampak terlihat di sebagian monument
tersebut, menandakan para pemeluk agama ini sudah sejak lama berinteraksi
dengan dunia luar, dunia lain, yang juga sama-sama menyimpan prestasi dan
peradaban yang memukau.
![]() |
patung Ibnu Khaldun di Tunisia |
Akan
tetapi, bagi pecinta arsitektur, Mesir tidak saja menampilkan sederet panorama
seni pahat dan ukir yang berbau islam. Di balik debu, Mesir menyembunyikan
peradaban lain, yang lebih dikenal, dan dikenang abadi oleh masa. Potret
peradaban Mesir paling banyak menorehkan decak kagum umat manusia adalah
peradaban Mesir Kuno yang membentang panjang lebih dari 3 milenia sebelum nabi
Isa lahir. Kini, peninggalan peradaban Mesir Kuno hampir bisa didapati di
seluruh kawasan dekat sungai Nil, membentang dari Pengantin Laut Tengah
Aleksandria di Utara Mesir, sampai lembah nun jauh di Luxor dan Aswan di
selatan.
Sekarang,
situs-situs peninggalan dinasti raksasa ini dijejali oleh ribuan turis setiap
tahun. Pecinta peradaban dan sejarah akan dimanjakan oleh deretan bangunan dan
monumen elegan seperti kuil, pyramida, makam, ruangan bergaya hypostyle, rumah
kelahiran, relief, makam berwarna, mumi, tiang-tiang raksasa, sphinx, obelisk
dan lainnnya. Sebut saja tiga piramida raksasa di Giza, dekat Kairo, yang
terpampang elegan dan menjulang menakutkan di horizon. Piramida agung Giza dibangun
pada masa dinasti ke-4 Kerajaan Lama (Old Kingdom=memanjang dari dinasti ke-4
sampai dinasti ke-8, sekitar 2575-2134 SM) oleh tiga raja terkenal dalam
semesta Mesir Kuno, yaitu Khufu, dilanjut anaknya Kafhre, lalu cucu Khufu
bernama Menkaura. Piramida raja Khufu yang terbesar misalnya, dibangun oleh
lebih dari 20.000 pekerja. Mereka diperintahkan menyusun lebih dari 2 juta
balok batu untuk membangun sebuah makam sang raja. Sementara itu Sang Bapa
Terror, atau Sphinx, terpampang gagah menjaga piramida Kafhre seakan siap
menerkam siapa saja yang berani mengusik ketenangan sang raja. Di Karnak,
Luxor, misalnya, sebuah kuil megah dibangun untuk dipersembahkan kepada Raja
Segala Tuhan, Amun-Ra. Tidak jauh dari Karnak, kuil terpampang sangar di
jantung kota Luxor, dibangun pada masa Dinasti Kerajaan Baru (New
Kingdom=memanjang dari dinasti ke-18 sampai dinasti ke-20, dari tahun 1550
sampai 1070 SM) melaui titah Raja Amenophis III dan selesai pada masa raja
diraja Ramses II. Makam raja-raja Mesir terkenal seperti Tutankhamun misalnya,
ditemukan tidak jauh dari Luxor, yaitu kawasan terkenal sejagat bernama Lembah
Para Raja (Valley of The Kings). Tak jauh dari sana, Ratu cantik kekasih Ramses
II, Nefertari, beristirahat di Lembah Para Ratu (Valley of The Queens).
Menuju Qina
Bagiku,
menikmati peninggalan purbakala baik masa-masa islam klasik maupun Mesir Kuno
menjadi kesenangan tersendiri. Tapi, untuk pergi ke luar Kairo dan melihat dari
dekat peninggalan Mesir Kuno, aku harus merogeh kocek minimal 100 dolar, jumlah
uang yang tidak sedikit bagiku yang seorang kutu kupret dan petualang
apa adanya. Untuk bisa menikmati setiap jengkal monumen-monumen tua di Qina,
Luxor, atau Abu Simbel, aku harus memiliki persediaan materi yang tidak
sedikit, karena situs-situs tua di sana sulit ditaklukkan oleh kartu pelajar
al-Azhar yang aku jadikan jimat di Kairo. Tapi, musim semi tahun ini rupanya sudah
menyiapkan kejutan besar buatku. Pagi-pagi, handphone Nokia jadulku berdering
berkali-kali. Aku angkat dan langsung mendengar suara kawanku dengan nada
tergesa-gesa mengajakku untuk cepat menuju depan masjid Syarbini (letak mesjid
sangat dekat dengan flatku). Seakan disambar petir, aku kaget bukan main.
Kawanku mengajakku untuk cepat-cepat berkemas karena setengah jam lagi mobil
bus yang kini tengah parkir di depan masjid akan segera berangkat ke Luxor. Dan
yang membuatku melupakan mimpi dikejar hantu tadi malam adalah, aku tidak
dipungut biaya se-pound-pun. Girang bukan main. Selama hampir 4 tahun di Mesir,
baru kali ini ada kesempatan pergi ke Luxor dengan Cuma-Cuma. Tak banyak fikir,
aku langsung berkemas kemudian berlari menuju bus yang tengah parkir tak jauh
dari rumahku. Di bus, sudah ada sejumlah mahasiswa yang juga ikut tur gratisan
ini. Ketika melihat beberapa mahasiswi Indonesia cantik-cantik di dalam bus,
aku baru sadar, ternyata aku belum mandi. Jeez!!
Aku
diberitahu kawan bahwa bus akan menuju Qina, sebuah provinsi Mesir Hulu yang
terletak sekitar 600 km dari Kairo. Perjalanan ke sana akan memakan waktu
kurang lebih 10 jam. Di sana, selama 5 hari, kami akan ditempatkan di asrama
mahasiswa di kampus bergengsi Qina, yaitu Universitas Lembah Selatan (South
Valley University). Dari Kairo, bus bertolak ke Qina melalui jalur padang pasir
yang jauh dari tepian sungai Nil. Setelah melewati kota pinggiran Kairo,
Helwan, dan memasuki kawasan Korimat, kami langsung ditemani oleh bentangan
padang pasir, lembah, bukit-bukit berbatu, dan pemandangan gersang tak berujung
di kanan kiri.
Sepanjang
perjalanan, membelah provinsi Asyut dan Sohag, khayalanku langsung menampilkan
sederet situs-situs Mesir Kuno yang sudah lama ingin aku kunjungi. Kuil Karnak,
Kuil Luxor, Kuil Dendera, Kuil Ratu Hatshepshut, Kuil Edfu, Esna, Philae, Kom
Ombo, dan yang sangat ingin aku kunjungi, masjid Abul Haggag, yang dibangun di
atas kuil Ramses, terpampang jelas di fikiranku. Membuat pemandangan mematikan
di kanan kiri jalan tidak begitu aku perdulikan. Tetapi, mungkin inilah resiko
gratisan, setelah tiba di Kampus tujuan, aku dikabarkan bahwa sebenarnya kami
datang ke sini bukan untuk menikmati
secara khusus monumen-monumen kuno itu. Tetapi kami diundang untuk menghadiri
acara tertentu, yang tentunya akan meminimalisir porsi petualanganku di sini. Tapi,
rasa pesimis itu langsung dibuyarkan oleh kabar dari ketua rombongan, bahwa
panitia acara telah menyediakan waktu khusus dua hari untuk mengunjungi
situs-situs tertentu baik di Qina, atau di Luxor. Bagiku, itu sudah lumayan banget, selama dua
hari, ada sejumlah situs Mesir kuno yang akan dikunjungi, yaitu Kuil Ratu Hatshepshut,
Kuil Karnak, dan hari selanjutnya Kuil Dendera. Mending dapat tiga yang penting
gratis, daripada tidak sama sekali. Sisa kuil-kuil lainnya seperti Kom Ombo,
Edfu, Esna, Philae, Valley of The Kings, Valley of The Queens, yang sempat
mampir di fikiranku bubar begitu saja. Tetapi, ada satu yang harus aku
kunjungi, entah bagaimana caranya, yaitu masjid unik yang dibangun di atas Kuil
Ramses II di Luxor. Masjid yang merujuk kepada masa-masa islam abad 12-13 M itu
bernama Masjid Abul Haggag. Situs peninggalan islam yang membuatku susah tidur
kecuali setelah mengunjunginya.
Kuil Hatshepsut di Dir al-Bahari |
Hatshepsut, Karnak dan Dendera
Dari
Qina, perjalanan menuju Luxor (dulu namanya Thebes) menghabiskan sekitar satu
jam setengah. Melewati bentangan bukit kapur sebelah kanan jalan, dan ladang
gandum sebelah kiri, aku tidak sabar ingin segera melihat dari dekat
peninggalan-peninggalan purbakala yang sampai sekarang menjadi penopang ekonomi
Mesir ini. Setibanya di Dir al-Bahari (Biara Utara), sebuah kawasan yang
terletak di tepi barat sungai Nil, berhadapan dengan kota Luxor, kami melihat
dengan jelas salah satu masterpiece monumen purbakala Mesir Kuno. Kuil
Ratu Hatshepsut terpampang elegan di depan kami. Kuil penguburan ini dibangun
dibawah komando Ratu Hatshepsut, Penguasa Mesir ke-5 dari dinasti ke-18 (New
Kingdom). Puteri dari Raja Tuthmosis I dan isteri dari raja Tuthmosis II ini
dianggap sebagai salah satu ratu paling sukses yang memerintah Mesir, masa
pemerintahannya dipercayai lebih lama dari seluruh Ratu yang berkuasa
(Hatshepsut dipercayai berkuasa dari 1503 sampai 1482 SM). Sekitar 100 anak
tangga yang menghubungkan 3 tingkat kuil harus kami naiki untuk tiba ke atas
kuil. Sekeliling hanya diisi oleh puing-puing bekas kuil dan tanah gersang.
Dulunya, komplek kuil pasti terlihat indah. Ada taman yang hijau, dipenuhi
pohon kemenyan, dan air mancur. Di dinding kuil, ada rekaman peristiwa terkenal
yang dialami Ratu, yaitu perjalanan ke Tanah Punt. ukiran berupa pepohonan,
sebagai salah satu hadiah dari perjalanannya dan nanti ditanam di sekitar kuil,
masih bisa dilihat di dinding Kuil. Pada level kuil sebelum puncak, terdapat 3
patung Ratu Hatshepsut berjejer gagah.
detail ukiran dan gambar di dinding kuil |
Di
beranda yang terletak di ujung selatan, ada Kapel Dewi Hathor, sang Dewi Cinta
dan Kecantikan. Bentuk wajah Dewi Hathor terlihat indah dan elegan, dipahat
rapih di pucuk pilar-pilar kapel. Secara umum, komplek ini dibangun untuk sang Ratu
Hatshepsut, dan Dewa Amun, sesembahan lokal kota Thebes, yang nantinya
bermetamorposis menjadi Amun-Ra (dijukuki Rajanya Segala Dewa), setelah Dewa
Amun menyatu dengan Dewa Matahari, Ra. Karena Tidak terbiasa dengan sejarah
Mesir Kuno, aku pun kurang puas ketika diizinkan mengeksplorasi kuil hanya satu
jam saja. Andai dengan biaya sendiri, aku ingin berlama-lama di sini, menikmati
detail demi detail sudut-sudut kuil yang ukiran di dindingnya menceritakan
kisah-kisah kehidupan masa Hatshepsut hidup.
ukiran pohon di dinding kuil Hatshepsut |
pintu masuk kuil karnak |
Terkesima.
Aku eksplorasi kawasan kuil Karnak ini dengan buru-buru karena lagi-lagi, kami
hanya diizinkan di sini selama satu jam. Keluar dari hutan pilar raksasa, aku
kembali disuguhkan oleh dua obelisk yang menjulang mencakar langit. Salah satu
obelisk ini dibangun oleh Raja Tuthmosis I (1504-1492 SM), ayah dari ratu
Hatshepsut. Berdiri sepanjang 21.3 meter, dengan berat sekitar 143 ton, obelisk
ini ditemani oleh obelisk sang ananda, Ratu Hatshespsut (1473-1458 SM) dengan
tinggi dan berat melebihi obelisk ayahnya (tinngi 29.6 meter dan berat sekitar
320 ton).
Hypostyle Hall |
kawan-kawan
menyerukan waktu hampir habis. Aku langsung bergegas mencari bangunan yang
didesain khusus untuk menyambut matahari yang kembali kepada titik baliknya di
musim dingin. Peristiwa ini dikenal dengan nama Winter Solstice. Bangunan
khusus itu terletak di belakang ruangan hypostyle. Kuil didesain dengan lorong
yang didekeng dua pilar, khusus dibangun untuk menyambut cahaya matahari yang
menyemburat sesaat saat ia terbit dari Timur. Di sini, setiap tahun pada
tanggal 21 Desember sejak 1500 SM, raja Mesir Kuno akan berdiri khidmat pada pagi
hari, menyaksikan sinar dari Dewa Amun-Ra menyemburat melalui lorong kuil,
menerangi alam semesta dan memberikan kehidupan.
***
Esok
harinya, aku semakin haus dan penasaran akan peninggalan peradaban Mesir Kuno. Destinasi
kali ini adalah kuil Dendera, sebuah kuil yang dipercayai sebagai salah satu
peninggalan Mesir Kuno termuda. Catatan arkeolog mengungkap kuil Dendera
dibangun sekitar tahun 30 SM sampai 14 M, meskipun pondasi awalnya kembali
kepada masa-masa Kerajaan Lama. Dendera terletak tidak jauh dari Qina. Dibangun
khusus untuk Hathor, Sang Dewi Cinta sekaligus isteri Dewa Langit, Horus. Struktur
bangunan yang sekarang sudah mulai dibangun sebelum kekuasaan Ptolemy VIII Eurgetes II, dilanjut oleh raja-raja Ptolemik
lainnya, sampai selesai masa Romawi.
Berjalan
menuju kuil, kami disuguhi bangunan yang dihiasi oleh 6 tiang berpucuk kepala
Dewi Hathor. Pintu masuk ini mengantarkanku kepada ruangan bergaya hypostyle
yang ditopang oleh 18 pilar Hathor berukuran besar. Melihat ke langit-langit,
aku dibuat terkesima. Tersihir. Hamparan hieroglyph, gambar, relief berwarna
biru, kuning, atau merah terpampang jelas di hadapan mata. Tidak hanya
langit-langit, pilar ruangan ini juga dipenuhi oleh ukiran menakjubkan. Detail
dan warnanya membuatku berlama-lama menengadahkan kepala. Ukiran dan tulisan juga
didapati di dinding ruangan, memuat iringan cerita, dongeng, dan pesan-pesan
yang tidak aku fahami berdesakan memenuhi dinding ruangan. Semuanya diukir
dengan penuh detail. Indah. Spektakuler. Berjalan jauh ke dalam ruangan, aku
dihadiahi sekitar 11 kapel atau ruangan yang didedikasikan untuk beragam simbol
keagamaan dan dewa-dewi. Di luar kuil,
terdapat basilica Kristen yang dibangun pada abad ke-5 M. sisa-sisa basilica
masih utuh, seperti beberapa pintu dengan ukiran salib di atasnya. Basilica di
kuil Dendera ini dianggap sebagai contoh memukau yang mempresentasikan bentuk
dan arsitektur gereja Koptik masa Romawi.
Ah.
Sensasi yang aku rasakan campur aduk. Sama seperti aku memasuki
bangunan-bangunan karya arsitek muslim di Kairo. Penuh detail, memiliki nilai
seni tinggi, sakral, segar, penuh warna, dan menyihir. Tiba-tiba rasa
penasaranku akan masjid Abul Haggag meningkat. Ingin segera aku ke sana dan melihat
bagaimana masjid dibangun diatas kuil Mesir kuno. Dulu, aku penasaran akan
masjid yang dibangun di dalam gereja, dan terobati ketika melihat masjid itu
berdiri kesepian di dalam monastery raksasa Santa Katarina di kaki gunung Musa
di Sinai. Lalu bagaimana dengan masjid
Abul Haggag yang katanya dibangun di atas reruntuhan kuil. Seperti apa rupanya?
Masjid Abul Haggag
Sedikit
kecewa setelah mengetahui kami tidak akan diajak tur ke kuil-kuil Mesir kuno
lagi. 3 lokasi selama dua hari dirasa sangat minimalis sekali. Ditambah
kunjungan yang diburu-buru dan tidak nyaman bersama orang-orang Mesir yang ikut
dalam rombongan, membuatku harus mencari celah biar bisa pergi lagi ke Luxor,
dan melihat masjid Abul Haggag dari dekat. Aku bersama 3 kawanku, akhirnya nekat
untuk kabur seharian dari asrama di Qina. Kami ingin lebih bebas berpetualang,
dan yang paling penting, adalah mengobati penyakit penasaran kami akan masjid
Abul Haggag. Dari Qina, diam-diam kami mencari angkutan yang mengantarkan kami
ke Luxor. Dengan mobil jenis el-tramco, perjalanan ke Luxor hanya diminta
ongkos 5 pound saja. Sangat murah. Dan untungnya, jalur yang diambil adalah thoriq
ziro'I, atau jalur pesawahan. Jalur ini berbeda dengan thoriq shohrowi
atau jalur padang pasir. Melalui jalur pesawahan, kami dihadiahi bentangan
pemandangan pedesaan Mesir yang asri. Di samping kanan jalan, cabang sungai nil
mengalir begitu tenang, di tepiannya ditumbuhi rerumputan hijau dan pepohonan. Sejauh
mata memandang kanan dan kiri, ladang gandum yang siap dipanen pada bulan April
ini tampak menguning. Sesekali kami melihat hamparan kebun tebu yang akan
dipanen nanti bulan Desember. Jalanan yang sepi, angin sepoi-sepoi, deru suara
mobil yang tenang dan pemandangan yang hijau serta segar membuat perjalanan
kami ke Luxor menjadi menyenangkan. Satu jam setengah kemudian, kami tiba di
Luxor. Kami segera berbegas ke destinasi terkenal yang terletak di jantung kota,
yaitu Luxor Temple. Di sinilah, menara masjid Abul Haggag berdiri berdekatan
dengan obelisk.
pilar kuil di ruangan makam Ibnul Haggag |
Takjub.
Mataku tak henti memandang masjid antik ini dari jauh. Aku cepatkan langkahku
menuju masjid yang ternyata pintu masuknya terletak di luar komplek kuil.
Sambil menaiki titian tangga, aku tak hentinya tersenyum heran melihat
pemandangan luar biasa ini. Kubah, menara masjid, kuil, dan obelisk terletak
berdekatan. Dahsyat. Setelah titian tangga, terdapat makam Abul Haggag (Yusuf
bin Abdul Rahim bin Yusuf bin Isa al-Zaid, lahir di Baghdad pada permulaan abad
ke-6 Hijriah/1150 M, wafat di Luxor pada tahun 642 H/1244 M, seorang ulama
muslim juga sufi terkenal, pernah bertemu dengan sufi Abdul Rahim al-Qinawi,
yang sekarang makamnya ada di masjid agung Qina, tidak jauh dari Luxor). Masuk
ke ruangan makam, lagi-lagi kekagumanku diganjar oleh ketakjuban selanjutnya.
Dinding penyangga ruangan ini terbuat dari pilar kuil Mesir kuno. Di pilar itu
aku melihat jelas sekali relief Mesir kuno dan tulisan hieroglyph yang merujuk
kepada masa Ramses II. Pintu utama masjid ada di sebelah kiri makam, di sana
aku dihadang oleh beberapa pilar yang diramaikan oleh tulisan, gambar, dan
relief bekas kuil samping masjid. Sungguh perasaan yang sulit digambarkan.
Menatap ke langit, sebuah menara kuno terbuat dari tanah liat dan batu bata
merah terpampang elegan. Bentuk menara ini baru aku lihat kali ini. Menurut
sejarawan, bentuk menara ini khas dengan gaya menara-menara garapan Dinasti
Fathimiyah yang dibangun di Mesir Hulu. Menara terdiri dari 3 tingkat, pertama
berbentuk segiempat, kedua dan ketiga berbentuk silinder. Menara yang
panjangnya mencapai 14 meter ini dianggap sebagai bagian paling tua dari masjid
Abul Haggag. Sejarawan arsitektur islam seperti Sir Creswell mengatakan menara dibangun
oleh menteri Dinasti Fathimiyah Badruddin al-Gamali, sang penggagas Gerbang
Kemenangan (Babul Futuh) di Kairo, lainnya mengatakan menara sudah dibangun
sejak masa Dinasti Abasiyah.
ceruk pada salah satu pilar kuil |
Persis
dibawah menara, sejumlah pilar berjejer kokoh. Menopang atap yang sekarang
menjadi bagian masjid dan memuat salah satu makam wali yang dulu hidup di sini.
Pilar-pilar serta atapnya masih menyisakan rekaman tulisan Mesir kuno dan
gambar-gambar yang mungkin menceritakan kisah Raja Ramses II. Pilar-pilar ini tidak sengaja ditemukan
setelah masjid terkena kebakaran pada tahun 2007. Setelah diperbaiki, pihak
purbakala baru sadar masjid ini ternyata dibangun di atas sisa-sisa kuil yang
dibangun Ramses II yang sekarang sebagian besar komplek kuilnya bisa dilihat
jelas di belakang masjid. Menurut ahli purbakala Farag Fiddoh, Ketua Sektor
Purbakala Islam dan koptik, mengatakan pihak purbakala menemukan adanya tulisan
serta relief yang menceritakan pemasangan dua obelisk di Kuil Luxor yang
dibangun oleh Ramses II. Di dalam masjid, tim purbakala juga menemukan
sisa-sisa gereja yang merujuk kepada abad ke-5. Di mana mereka mendapatkan
tempat sembahyang yang juga terletak di salah satu pilar pelataran Kuil Ramses
II ini. Di depan mimbar, terdapat dua tiang yang berasal dari masa Romawi.
Warnanya kuning kontras. Membuat masjid ini semakin semarak akan campuran
peradaban. Pertama kuil Ramses, lalu Kristen Koptik, terakhir menjadi masjid. Yang
membuatku penasaran, di samping mimbar ada sebuah pilar kuil yang tengahnya
dibuat cerukan seperti mihrab, mungkin dulu dipakai untuk mihrab imam dan arah
kiblat.
Di
dinding timur masjid, Tim purbakala menemukan tulisan dan ukiran Mesir kuno di
dalam masjid menceritakan kemenangan-kemenangan Ramses II. Salah satu pilar juga
menceritakan 3 serangkai Dewa Thebes (Amon, Mut, dan Khonsu), di samping ukiran
Raja Ramses II yang tengah memberikan kurban kepada Dewa Segala Dewa, Amun-Ra. Di
antara panorama Mesir Kuno penting yang berhasil ditemukan di dalam masjid
adalah landskap yang menceritakan Raja Ramses II tengah menyerahkan kedua
obelisk kepada Kuil Amun-Ra. Sampai sekarang, salah satu obelisk itu masih
terpampang gagah di gerbang kuil, sementara yang satunya berada di Palace de la
Concorde di Paris. Obelisk tersebut dihadiahkan oleh Muhamad Ali Pasha pada
tahun 1845 M kepada Raja Prancis Louis Philippe dan sebagai gantinya, Ali Pasha mendapatkan jam air yang sekarang
dipajang kesepian dan terlihat kusam di masjid Muhamad Ali di Citadel, Kairo.
Yang
tidak kalah pentingnya, relief di dalam masjid juga menjadi bukti untuk
membebaskan Ramses II dari tuduhan eksploitasi terhadap patung-patung milik
Amenhotep III, penggagas Kuil Luxor. Di sana terdapat pemandangan salah satu
pembesar Negara tengah memasang 3 patung Ramses, satu mengenakan tutup kepala
Mesir Hulu, kedua mengenakan tutup kepala Mesir hilir, dan yang ketiga
mengenakan penutup Nemes (tutup kepala khusus para firaun). Ahli purbakala
menjadikan relief ini sebagai bukti untuk membebaskan Ramses II dari tuduhan
pencurian patung-patung Amenhotep III.
Dari
beranda di samping kiri masjid, kuil Luxor terlihat begitu jelas dan elegan. 14
pilar raksasa setinggi 100 meter garapan Amenhotep III terpampang gagah dan
berjejer menakutkan. Setelahnya, sebuah lapangan yang disiapkan untuk Dewa
Matahari, terlihat spektakuler karena dikelilingi barisan pilar besar dari
kanan kiri. Melihat ke bawah, jelas sekali masjid ini dibangun di atas bagian
kuil Luxor, tepatnya di atas pilar-pilar bagian kolom setelah pylon (gerbang)
yang dibangun Ramses II. Ketika masjid dibangun, pilar-pilar Ramses II bahkan
bagian besar kuil ini terkubur dan terutup pasir. Setelah lama akhirnya masjid
dibangun di atas situs gereja koptik yang lebih dulu dibangun di situs yang
sama. Ketika situs Kuil Luxor ditemukan pada abad 19 M, penduduk menolak keras
usaha pembongkaran masjid Abul Hagag. Bagi mereka, keberadaan masjid dan makam
sang sufi bisa mendatangkan barakah. Setiap bulan Sya'ban, masyarakat
lokal mengadakan pesta maulid di area ini. Dan hingga kini pesta rakyat
itu menjadi tontotan tersendiri bagi turis karena keunikannya.
Meninggalkan
Abu Haggag, perasaanku puas luas biasa. Rasa penasaranku sedikit terobati. Aku
baru tahu, Masjid ini menjadi tempat pertemuan tiga perdaban besar umat manusia.
Di sampingnya ada kuil Luxor, tempat penyembahan Dewa Amun-Ra, dibawah masjid
terdapat sisa-sisa gereja Kristen, dan sekarang horizon langit tidak hanya
diisi oleh obelisk, tetapi juga oleh menara masjid yang tidak kalah elegan. Untuk
terakhir kalinya, kami duduk di taman sambil menyeruput kopi hitam. Di hadapan
kami terpampang pemandangan memukau. Kuil Luxor, obelisk, menara kuno, kubah
makam, dan deretan pilar-pilar tempat pemujaan dewa matahari Amun-Ra dihadirkan
begitu eksotik. Matahari yang perlahan meninggalkan bumi begitu dramatis menampilkan
cahayanya yang memberikan siluet di lokasi pertemuan 3 peradaban besar manusia
ini. Jantung kota Luxor mulai gelap, sementara dari menara masjid, azan shalat
berkumandang. Di sampingnya, obelisk dan patung raksasa Ramses terlihat elegan
terkena cahaya buatan dari bawah. Di belakang masjid, jejeran pilar juga
menampilkan orkestra pemandangan tak tertandingi. Cahaya kekuningan dipadu
nuansa klasik yang ditampilkan komplek kuil membuat kami sulit untuk
meninggalkan tempat ini.
Luxor,
Kota 100 Gerbang
April
2013
Further Reading:
Richard H. Wilkinson, The Complete Temples of Ancient Egypt
Richard H. Wilkinson, The Complete Gods and Goddesses of
Ancietn Egypt
Nicolas Grimal, A History of Ancient Egypt
Jill Kamil, Luxor A Guide to Ancient Thebes
Discovery Channel, Insight Guides Egypt
Wikipedia
pemandangan Kuil Karnak |
Orang tua di celah masuknya cahaya Matahari saat winter soltice |
Obelisk di Karnak |
detail ukiran di tempat kelahiran di kuil Dendera |
detail di salah satu pilar kuil Dendera |
relief dan ukiran di dinding kuil Dendera |
pilar dengan kepala Dewi Hathor di ujungnya |
ukiran wajah Dewi Hathor |
detail salah satu reruntuhan bekas basilika kristen koptik |
makam, orang tua, dan pilar kuil |
jalan menuju pintu utama masjid |
pintu utama masjid |
interior masjid |
pemandangan Kuil Luxor dari atas masjid |
dua tiang kuno di dalam masjid |
langit-langit masjid |
menara masjid |
makam sufi, dan pilar kuil |
trimakasih. tulisan ini sangat membantu saya.
BalasHapuskalo di masjid al haggag, apakah kita bisa bholat dan berwudhu?
sama-samaa,,,terimakasih sudah berkunjung,,,
Hapusmasjid abul haggag sampai sekarang masih bisa digunakan untuk shalat disamping menjadi tujuan wisata sejarah,,,, :)