Kamis, 07 Februari 2013

Mencari Jejak Dua Wali Qutub di Dassuq dan Tanta



Masjid Ibrahim Dassuki
Hujan turun sangat deras ketika angkot yang kami tumpangi melintas lambat di Manufia, sebuah provinsi hijau di Mesir yang terletak sebelah utara Kairo. Hujan deras ini membuat kami senang sejenak karena sudah lama sekali tidak melihat air hujan tumpah dari langit, mencium baunya, dan merasakan kelembaban tanah yang diguyurnya. Tetapi, rasa kangen terhadap hujan itu langsung diganjar dengan hawa dingin luar biasa setelah hujan berhenti. Isi angkot membeku, sekaligus menghempas ingatan-ingatan kami tentang hujan di kampung dan berharap agar hujan tidak turun lagi. 

Dua jam lebih kami menggigil sejak angkot meninggalkan Kairo. Yang kami lihat hanyalah bentangan sawah ratusan hektar tak berujung, dan kebun-kebun kesepian milik penduduk yang basah diguyur hujan. Desa-desa antah berantah hanya dipadati beberapa rumah yang terlihat kusam dari luar. Sepi. Sesekali aku melihat sekumpulan orang tua yang duduk kedinginan di samping jalan. Ngobrol ngalor ngidul tentang politik barangkali, umur tua dan jauh dari peradaban di Kairo tak membuat mereka buta akan berita dan perpolitikan dalam negeri.  Kaca yang berembun, jalanan yang becek, bau hujan, dan desa-desa yang sepi menjadi teman kami sepanjang  perjalanan menuju provinsi Dassuq, Tanta dan Mansuroh, tiga kota yang menyimpan harta karun sejarah dan masa silam yang akan selalu dikenang sampai kapanpun. 

Dassuq adalah kota pinggiran sungai Nil yang eksotik, hijau, dan subur. Kota yang terletak di jantung provinsi Kafr el Syeikh ini menyimpan cerita masa silam yang panjang dan tokoh lokal yang namanya abadi. Ada yang membuat kami menarik di kota ini, yaitu sejarah dan memori yang berhasil membetot kami dari Kairo dengan menempuh jarak 167 km plus kedinginan. Tepat di jantung kota, terdapat masjid dan makam salah satu kutub wali terkenal sejagat dunia thariqah dan tasawuf islam. Kota ini harum karena menjadi tempat istirahatnya Ibrahim Dassuki, seorang wali dan sufi terkenal dalam semesta kewalian islam dan menjadi salah satu dari 4 kutub wali yang namanya mengaung nyaring di dunia islam. 

Hujan di Manufiah
setelah lebih dari 4 jam, kami akhirnya sampai di jantung kota Dassuq, tempat sang wali dimakamkan. Kelelahan dan kedinginan kami diganjar oleh pemandangan masjid yang megah dan besar. Berwarna kuning kecoklatan dengan 4 menaranya yang menjulang di kaki langit dengan gagah. Kami melihat sebuah kubah raksasa menghiasi masjid, didekeng empat menara dari 4 sisi. Kubah dan keempat menara itu bergeming sangar, seakan menjadi penjaga setia sang wali. 

Sebuah makam dengan kubah raksasa diatasnya, diam membisu di sudut masjid besar ini. Di dindingnya tertulis ini makam sayyidi Ibrahim Dassuki. Tempat ini dulunya adalah zawiyah, sebuah tempat menyepi (khalwat) para sufi yang dibangun oleh Sultan Asyraf Khalil (memerintah Mesir dari tahun 1290-1293 M), salah satu sultan Dinasti Mamluk yang namanya mengiang  nyaring dalam sejarah islam karena jasanya yang berhasil membumi hanguskan benteng terakhir orang-orang Frank  di Acre dan membuat semesta Syam, Greater Suriah, bebas dari orang-orang berbaju salib. Sultan Asyraf membuatkan sebuah zawiyah untuk Ibrahim Dassuki karena mengetahui dia adalah seorang sufi yang memang sangat gemar merenung dan menyendiri dengan Tuhan. 

Setelah sang wali wafat, salah satu Sultan Dinasti Mamluk Burji paling tersohor, Asyraf Qaitbay, membuatkan makam untuknya dan masjid di sampingnya. Menara masjid ini kental dengan gaya arsitektur menara garapan dinasti mamluk, mungkin Qaitbay juga yang membangun 4 menara masjid ini sekaligus. Hanya saja warna menara, kubah, dan masjid sudah berubah total dari pertama kali dibangun. Andai saja menara ini tidak dikuningkan, mungkin corak zig-zag yang terdapat di keempat menara akan berwarna-warni menyegarkan seperti kedua menara Amir Syaikhu di Kairo. Perubahan masjid besar-besaran dilakukan pada tahun 1880 M oleh Khediv Taufiq, penerus eyang Muhamad Ali. Terakhir kali diperbaharui total oleh presiden Mesir kedua sekaligus teman Sukarno, yaitu Gamal Abdul Nasher pada tahun 1969 M. 
Kubah Masjid

Dekorasi dalam kubah sudah tidak asli lagi. padahal dari luar, kubah masjid ini mirip bentuknya dengan kubah Fidawiyah garapan sultan Qaitbay di Abbasiyah, yang menyembunyikan seni pahat, kaligrafi, dan arabes super rumit dan memanjakan mata. Sejejer dengan kubah makam Imam Syafi’I di Qorrofah,  Kubah Yashbak di Qobri Qubbah, atau kubahnya makam Sultan al-Manshur Qalawun di Syaria Mu’iz.

Ibrahim Dassuki dan Dinasti Mamalik

Ketika Dinasti Mamalik berkuasa di Mesir dan Syam, semesta islam direpotkan oleh gempuran serangan yang tak berkesudahan, datang dari dunia jauh dan tak terlihat. Perang salib yang meletus tahun 1095 M dan berlangsung dua abad lebih telah membuat dunia heboh oleh peperangan tak berujung antara muslim dan kristiani Eropa. Jagad Syam (Suriah, Palestina), Mesir, dan Asia Dekat menjadi medan pertempuran berdarah yang menakutkan dalam sejarah. Kedua pihak diganjar oleh meninggalnya ribuan tentara, prajurit, panglima, rakyat biasa, agamawan, intelektual, dan nantinya akan menyisakan luka dan trauma berabad-abad kemudian. Sampai sekarang. 
Selain orang-orang berbaju salib yang menggempur dunia islam dari Eropa, Dinasti Mamalik juga harus tabah ketika ancaman lain mengiang-ngiang nyaring berasal dari Asia. Ketika Antiokh kolaps, Yerusalem tumbang, kini jagad islam harus mengelus dada ketika madinat Salam, Baghdad, hangus dan rata dengan tanah ketika digempur habis-habisan oleh Hulagu, cucu Jengis Khan, yang bertanggung jawab atas runtuhnya kota-kota penting islam di sepanjang Asia Tengah. 

Seruan jihad yang terus-menerus menjadi ultimatum harian itu tidak membuat islam kehilangan ulama-ulamanya yang bekerja keras fokus bukan saja kepada jihad, tetapi juga kepada karya yang mereka garap untuk kebaikan generasi agama ini di masa depan. Dunia intelektual islam yang terancam waktu itu selamat karena didekeng oleh Deretan ulama yang kemudian hari namanya harum dan karyanya dijadikan rujukan dari masa ke masa. 

Sebut saja Izzudin bin Abdul Salam, sarjana muslim yang dikenal dengan sultannya para ulama, wafat setahun setelah islam diselamatkan oleh Mamalik pada Pertempuran menakutkan di Ain Jalut pada tahun 1260 M. Izzudin adalah sarjana yang memperkenalkan maqhasid (tujuan bersyariat) yang ia jabarkan dalam buku monumentalnya al-Qawaid al-Kubra. Atau sebut saja Imam Zarkasyi (wafat tahun 1391 M), intelek muslim yang membuat masalah fikih menjadi sistematis dengan menyimpannya dalam deretan bab-bab yang rapih, karyanya yang monumental dan dikenal oleh kalangan santri Indonesia adalah Syarh al Minhaj, Bahrul Muhith, Syarh Jam’ al-Jawami’ atau Khabaya al-Zawaya. 

Nama buku Ahkam Ahl al-Dzimmah sudah tidak asing lagi di dunia pesantren atau universitas islam. Kitab yang menuturkan bagaimana tata cara bergaul, hukum, dan serba-serbi yang berkaitan dengan ahlul dzimma itu dikarang oleh sarjana terkenal, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (wafat 1350 M), muridnya syaikhul islam Ibnu Taimiyah al-Harrani, intelek tersohor sejagat islam yang karyanya masih dijadikan rujukan sampai abad 21 ini. 

Madrasah-madrasah masa emas islam ini dipenuhi oleh deretan ulama yang namanya membuat dunia intelektual harus bersukur kepada mereka. Misal saja sejarawan dan sosiolog asal Tunisia, Ibnu Khaldun dan juga Al-Maqrizi, muridnya yang sama-sama mabuk kepayang dengan sejarah dan peradaban. Bukan saja hanya sekolah, tetapi tempat-tempat menyepi (khalwat, khanqah, zawiyah, ribat) juga dijejali oleh sederet sufi dan suhu thoriqoh, sebut saja Ahmad Al-Badawi (wafat 1276 M), Abul Hasan al-Syadzili (wafat 1258 M), sufi sekaligus penyair Jalaluddin al-Rumi (wafat 1273 M), dan wali yang kuburannya menjadi tempat tujuan kami kali ini, yaitu Ibrahim bin Abil Majd al-Dassuki (wafat 1277 M-lain veris mengatakan tahun 1296 M). 

Karena Sejejer dengan ketiga wali qutub lainnya, yaitu Abdul Qadir al-Jailany, Ahmad al-Rifa’I, ahmad al-Badawi, kuburan Syaikh Dassuki selalu ramai dikunjungi oleh orang, baik muslim lokal, luar kota, atau bahkan luar negeri. Karamahnya diceritakan dengan bait-bait syair yang dipasang menggunakan bingkai di dinding dekat makam. Bait itu mengatakan salah satu karamah Ibrahim Dassuki yang terkenal, yaitu ketika buaya sungai Nil menelan seorang anak, ibunya sedih dan memohon-mohon kepada Ibrahim Dassuki agar anaknya bisa kembali kepadanya. Ibrahim Dassuki langsung memanggil si buaya tadi dari sungai. Entah bagaimana kejadiannya, si buaya dengan manut menghadap kepada Dassuki ketakutan. Sang wali memintanya agar memuntahkan kembali anak kecil yang ditelannya, si buaya pun tanpa protes langsung memuntahkan kembali anak kecil itu. dan ajaib, anak itu hidup kembali dan langsung berlari memeluk ibunya….
Makam Ibrahim Dassuki

cerita itu membuat bulu kudukku merinding. Entah percaya atau tidak. Meskipun tidak ada saksi mata, karena ceritanya juga dituliskan dua abad setelah sang wali wafat, cerita luar biasa sang wali ini sudah dihafal dan diyakini terjadi oleh ratusan generasi penduduk sini. Menjadi cerita yang sudah diyakini kebenarannya dari masa ke masa sebagai karamah para wali.  

murid kesayangan sang wali, yaitu Syaikh Jalaluddin al-Karki, yang makamnya terletak di samping masjid dan nantinya menjadi nakhoda tertinggi thoriqoh Dassuqiyah, menuliskan nasehat-nasehat gurunya itu dalam kitabnya Lisan al-Ta’rif bi haal al-waliyy al-Syarif. Syaikh Ibrahim Dassuki pernah berkata;

“orang yang selalu iri dengki tidak akan pernah sukses.”


***

Dassuk yang membeku, 1 Februari 2013

Bersambung ke Tanta……..

Further reading;

Lisan al-Ta’rif bi haal al-waliyy al-syarif, Jalaluddin al-Karki.  

Al-Thabaqat al-Kubra, Abdul Wahhab al-Sya’rani.

Al-Thuruq al-Shufiyah fi Misr, Dr. Amir al-Najjar.

Wikipedia.


















1 komentar:

  1. blog ini adl maraji' wajib pra penggemar backpacker :D recommended to all readers, plus2!

    BalasHapus