Masjid Ibrahim Dassuki |
Hujan turun
sangat deras ketika angkot yang kami tumpangi melintas lambat di Manufia,
sebuah provinsi hijau di Mesir yang terletak sebelah utara Kairo. Hujan deras
ini membuat kami senang sejenak karena sudah lama sekali tidak melihat air
hujan tumpah dari langit, mencium baunya, dan merasakan kelembaban tanah yang
diguyurnya. Tetapi, rasa kangen terhadap hujan itu langsung diganjar dengan
hawa dingin luar biasa setelah hujan berhenti. Isi angkot membeku, sekaligus
menghempas ingatan-ingatan kami tentang hujan di kampung dan berharap agar
hujan tidak turun lagi.
Dua jam
lebih kami menggigil sejak angkot meninggalkan Kairo. Yang kami lihat hanyalah
bentangan sawah ratusan hektar tak berujung, dan kebun-kebun kesepian milik
penduduk yang basah diguyur hujan. Desa-desa antah berantah hanya dipadati
beberapa rumah yang terlihat kusam dari luar. Sepi. Sesekali aku melihat
sekumpulan orang tua yang duduk kedinginan di samping jalan. Ngobrol ngalor
ngidul tentang politik barangkali, umur tua dan jauh dari peradaban di Kairo
tak membuat mereka buta akan berita dan perpolitikan dalam negeri. Kaca yang berembun, jalanan yang becek, bau
hujan, dan desa-desa yang sepi menjadi teman kami sepanjang perjalanan menuju provinsi Dassuq, Tanta dan
Mansuroh, tiga kota yang menyimpan harta karun sejarah dan masa silam yang akan
selalu dikenang sampai kapanpun.
Dassuq
adalah kota pinggiran sungai Nil yang eksotik, hijau, dan subur. Kota yang
terletak di jantung provinsi Kafr el Syeikh ini menyimpan cerita masa silam
yang panjang dan tokoh lokal yang namanya abadi. Ada yang membuat kami menarik
di kota ini, yaitu sejarah dan memori yang berhasil membetot kami dari Kairo dengan
menempuh jarak 167 km plus kedinginan. Tepat di jantung kota, terdapat
masjid dan makam salah satu kutub wali terkenal sejagat dunia thariqah
dan tasawuf islam. Kota ini harum karena menjadi tempat istirahatnya
Ibrahim Dassuki, seorang wali dan sufi terkenal dalam semesta kewalian islam dan
menjadi salah satu dari 4 kutub wali yang namanya mengaung nyaring di dunia islam.
Hujan di Manufiah |
Sebuah makam
dengan kubah raksasa diatasnya, diam membisu di sudut masjid besar ini. Di dindingnya
tertulis ini makam sayyidi Ibrahim Dassuki. Tempat ini dulunya adalah zawiyah,
sebuah tempat menyepi (khalwat) para sufi yang dibangun oleh Sultan
Asyraf Khalil (memerintah Mesir dari tahun 1290-1293 M), salah satu sultan
Dinasti Mamluk yang namanya mengiang nyaring dalam sejarah islam karena jasanya
yang berhasil membumi hanguskan benteng terakhir orang-orang Frank di Acre dan membuat semesta Syam, Greater
Suriah, bebas dari orang-orang berbaju salib. Sultan Asyraf membuatkan
sebuah zawiyah untuk Ibrahim Dassuki karena mengetahui dia adalah
seorang sufi yang memang sangat gemar merenung dan menyendiri dengan Tuhan.
Setelah sang
wali wafat, salah satu Sultan Dinasti Mamluk Burji paling tersohor, Asyraf
Qaitbay, membuatkan makam untuknya dan masjid di sampingnya. Menara
masjid ini kental dengan gaya arsitektur menara garapan dinasti mamluk, mungkin
Qaitbay juga yang membangun 4 menara masjid ini sekaligus. Hanya saja warna
menara, kubah, dan masjid sudah berubah total dari pertama kali dibangun. Andai
saja menara ini tidak dikuningkan, mungkin corak zig-zag yang terdapat
di keempat menara akan berwarna-warni menyegarkan seperti kedua menara Amir
Syaikhu di Kairo. Perubahan masjid besar-besaran dilakukan pada tahun 1880 M oleh
Khediv Taufiq, penerus eyang Muhamad Ali. Terakhir kali diperbaharui
total oleh presiden Mesir kedua sekaligus teman Sukarno, yaitu Gamal Abdul
Nasher pada tahun 1969 M.
Kubah Masjid |
Dekorasi dalam
kubah sudah tidak asli lagi. padahal dari luar, kubah masjid ini mirip
bentuknya dengan kubah Fidawiyah garapan sultan Qaitbay di Abbasiyah, yang
menyembunyikan seni pahat, kaligrafi, dan arabes super rumit dan memanjakan
mata. Sejejer dengan kubah makam Imam Syafi’I di Qorrofah, Kubah Yashbak di Qobri Qubbah, atau kubahnya
makam Sultan al-Manshur Qalawun di Syaria Mu’iz.
Ibrahim
Dassuki dan Dinasti Mamalik
Ketika Dinasti
Mamalik berkuasa di Mesir dan Syam, semesta islam direpotkan oleh gempuran
serangan yang tak berkesudahan, datang dari dunia jauh dan tak terlihat. Perang
salib yang meletus tahun 1095 M dan berlangsung dua abad lebih telah membuat
dunia heboh oleh peperangan tak berujung antara muslim dan kristiani Eropa. Jagad
Syam (Suriah, Palestina), Mesir, dan Asia Dekat menjadi medan pertempuran
berdarah yang menakutkan dalam sejarah. Kedua pihak diganjar oleh meninggalnya
ribuan tentara, prajurit, panglima, rakyat biasa, agamawan, intelektual, dan
nantinya akan menyisakan luka dan trauma berabad-abad kemudian. Sampai sekarang.
Selain
orang-orang berbaju salib yang menggempur dunia islam dari Eropa, Dinasti
Mamalik juga harus tabah ketika ancaman lain mengiang-ngiang nyaring berasal
dari Asia. Ketika Antiokh kolaps, Yerusalem tumbang, kini jagad islam harus
mengelus dada ketika madinat Salam, Baghdad, hangus dan rata dengan
tanah ketika digempur habis-habisan oleh Hulagu, cucu Jengis Khan, yang
bertanggung jawab atas runtuhnya kota-kota penting islam di sepanjang Asia
Tengah.
Seruan jihad
yang terus-menerus menjadi ultimatum harian itu tidak membuat islam kehilangan
ulama-ulamanya yang bekerja keras fokus bukan saja kepada jihad, tetapi juga
kepada karya yang mereka garap untuk kebaikan generasi agama ini di masa depan.
Dunia intelektual islam yang terancam waktu itu selamat karena didekeng oleh Deretan
ulama yang kemudian hari namanya harum dan karyanya dijadikan rujukan dari masa
ke masa.
Sebut saja
Izzudin bin Abdul Salam, sarjana muslim yang dikenal dengan sultannya para
ulama, wafat setahun setelah islam diselamatkan oleh Mamalik pada Pertempuran
menakutkan di Ain Jalut pada tahun 1260 M. Izzudin adalah sarjana yang
memperkenalkan maqhasid (tujuan bersyariat) yang ia jabarkan dalam buku
monumentalnya al-Qawaid al-Kubra. Atau sebut saja Imam Zarkasyi (wafat
tahun 1391 M), intelek muslim yang membuat masalah fikih menjadi sistematis
dengan menyimpannya dalam deretan bab-bab yang rapih, karyanya yang monumental
dan dikenal oleh kalangan santri Indonesia adalah Syarh al Minhaj, Bahrul
Muhith, Syarh Jam’ al-Jawami’ atau Khabaya al-Zawaya.
Nama buku Ahkam
Ahl al-Dzimmah sudah tidak asing lagi di dunia pesantren atau universitas
islam. Kitab yang menuturkan bagaimana tata cara bergaul, hukum, dan serba-serbi
yang berkaitan dengan ahlul dzimma itu dikarang oleh sarjana
terkenal, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (wafat 1350 M), muridnya syaikhul islam
Ibnu Taimiyah al-Harrani, intelek tersohor sejagat islam yang karyanya masih
dijadikan rujukan sampai abad 21 ini.
Madrasah-madrasah
masa emas islam ini dipenuhi oleh deretan ulama yang namanya membuat dunia
intelektual harus bersukur kepada mereka. Misal saja sejarawan dan sosiolog
asal Tunisia, Ibnu Khaldun dan juga Al-Maqrizi, muridnya yang sama-sama
mabuk kepayang dengan sejarah dan peradaban. Bukan saja hanya sekolah, tetapi
tempat-tempat menyepi (khalwat, khanqah, zawiyah, ribat) juga dijejali
oleh sederet sufi dan suhu thoriqoh, sebut saja Ahmad Al-Badawi (wafat
1276 M), Abul Hasan al-Syadzili (wafat 1258 M), sufi sekaligus penyair
Jalaluddin al-Rumi (wafat 1273 M), dan wali yang kuburannya menjadi tempat
tujuan kami kali ini, yaitu Ibrahim bin Abil Majd al-Dassuki (wafat 1277 M-lain
veris mengatakan tahun 1296 M).
Karena Sejejer
dengan ketiga wali qutub lainnya, yaitu Abdul Qadir al-Jailany, Ahmad al-Rifa’I,
ahmad al-Badawi, kuburan Syaikh Dassuki selalu ramai dikunjungi oleh orang,
baik muslim lokal, luar kota, atau bahkan luar negeri. Karamahnya diceritakan
dengan bait-bait syair yang dipasang menggunakan bingkai di dinding dekat
makam. Bait itu mengatakan salah satu karamah Ibrahim Dassuki yang terkenal,
yaitu ketika buaya sungai Nil menelan seorang anak, ibunya sedih dan memohon-mohon
kepada Ibrahim Dassuki agar anaknya bisa kembali kepadanya. Ibrahim Dassuki
langsung memanggil si buaya tadi dari sungai. Entah bagaimana kejadiannya, si
buaya dengan manut menghadap kepada Dassuki ketakutan. Sang wali
memintanya agar memuntahkan kembali anak kecil yang ditelannya, si buaya pun
tanpa protes langsung memuntahkan kembali anak kecil itu. dan ajaib, anak itu
hidup kembali dan langsung berlari memeluk ibunya….
cerita itu
membuat bulu kudukku merinding. Entah percaya atau tidak. Meskipun tidak ada
saksi mata, karena ceritanya juga dituliskan dua abad setelah sang wali wafat,
cerita luar biasa sang wali ini sudah dihafal dan diyakini terjadi oleh ratusan
generasi penduduk sini. Menjadi cerita yang sudah diyakini kebenarannya dari
masa ke masa sebagai karamah para wali.
murid
kesayangan sang wali, yaitu Syaikh Jalaluddin al-Karki, yang makamnya terletak
di samping masjid dan nantinya menjadi nakhoda tertinggi thoriqoh Dassuqiyah,
menuliskan nasehat-nasehat gurunya itu dalam kitabnya Lisan al-Ta’rif bi
haal al-waliyy al-Syarif. Syaikh Ibrahim Dassuki pernah berkata;
“orang yang selalu
iri dengki tidak akan pernah sukses.”
***
Dassuk yang
membeku, 1 Februari 2013
Bersambung
ke Tanta……..
Further reading;
Lisan
al-Ta’rif bi haal al-waliyy al-syarif, Jalaluddin al-Karki.
Al-Thabaqat
al-Kubra, Abdul
Wahhab al-Sya’rani.
Al-Thuruq
al-Shufiyah fi Misr, Dr.
Amir al-Najjar.
Wikipedia.
blog ini adl maraji' wajib pra penggemar backpacker :D recommended to all readers, plus2!
BalasHapus