Senin, 22 Juli 2013

Masjid Al-Ghuri, Mahakarya Terakhir Dinasti Para Budak


Wikala (Karavanserai) al-Ghuri

"kami menangis atas apa yang menimpa Mesir dan penduduknya

            penopangnya yang kuat sudah hancur sehabis-habisnya

Dengan penuh kehinaan, Mesir sekarang telah dikuasai

            Setelah dulunya, ia sudah lama menguasai"

(Syaikh Badrudin al-Zaytuni, dinukil oleh Ibn Iyas)

Di dekat tepi pantai ibukota Portugal, Lisbon, sebuah monasteri raksasa berdiri elegan dengan gaya khas gothik akhir. Simbol kejayaan Portugal dalam dunia maritim dan maskot arsitektur bergaya Manueline itu bernama Jeronimo Monastery, dikonstruksi awal mulanya pada tahun 1501 M, dan baru selesai satu abad kemudian pada tahun 1601 M.  Monasteri ini dibangun ketika Portugal tengah menikmati kekayaan tak terbatas yang dihasilkan dari hasil perdagangan komersial dari Afrika dan dunia Timur. Raja Manuel I (1469-1521 M), yang mentitahkan Vasco da Gama untuk mengarungi lautan mencari kekayaan di India, membangun rumah Yesus ini dari Vintena da Pimenta, atau 5% pajak dari hasil bisnisnya. Keuntungan sisanya yang didapat dari lada, kayu manis, pala, dan rempah-rempah lainnya digelontorkan untuk kerajaan. 

Monasteri yang dibangun oleh tangan arsitek Diogo de Boitaca (d. Around 1528 M), dengan memakai materi batu gamping yang berwarna keemasan, atau Calcario de lioz, itu menjadi tempat peristirahatan terakhir sang penemu rute laut ke India, Vasco da Gama (1460-1524 M), yang namanya sampai sekarang menjadi simbol kebanggaan Portugal. Selain makam da Gama, monasteri juga memuat beberapa makam tokoh penting lainnya, seperti penyair Luis de Camoes (1524-1580 M), pengarang The Lusiads, cerita epik yang menggambarkan keberhasilan da Gama, makam Raja Manuel sendiri, raja Sebastian (1554-1578 M), serta penyair Fernando pessoa dan Alelxandre Herculano. 

Monastery of San Jeronimo, Lisbon
Monastery St. Jeronime di Lisbon, Portugal
Selain desain Manueline yang kaya akan orkestra ornamen yang kompleks, arsitek juga sengaja menghadirkan suasana maritim di dalam ukiran interiornya. Sejumlah bentuk wajah asing yang menandakan orang-orang nun jauh di Afrika atau Asia dipahat didinding gereja. Ukiran berbentuk tambang kapal dipahat di sebagian langit-langitnya, sementara di ruangan lainnya berbagai obyek aneh dan misterius, seperti monster laut, dihadirkan dalam seni pahat dan ukir yang menakjubkan. Raja Manuel mungkin sengaja ingin menghadirkan memori kejayaan kerajaannya kepada setiap pengunjung gereja ini, memberi tahu dunia bahwa Portugal di masanya adalah kerajaan yang meskipun kecil, tapi mampu menggegerkan dunia. Masa Penemuan (Age of Discoveries) yang diprotokoli oleh Portugal ini merupakan masa-masa penting dalam sejarah dunia, yang nantinya juga akan merubah wajah sejarah umat manusia selama berabad-abad ke depannya.

Tidak terlalu jauh, di tepian sungai Tagus, yang mengalir tenang di kota Santa Maria de Belem, sebuah monumen yang juga menunjukkan kejayaan Abad Penemuan dan terbuat dari batu gamping berwarna putih cerah itu terkenal dengan nama Menara Belem, simbol utama Era Pelayaran Portugal. Bagi para pelaut, menara ini adalah pemandangan terakhir ketika merka meninggalkan Lisbon, lalu pergi menuju lautan luas yang mematikan. Pahatan di menara yang selesai dibangun pada tahun 1519 itu memuat motif-motif hasil penemuan, obyek-obyek dunia baru, juga pahatan figur terkenal seperti Saint Vincent. Francisco de Arruda (d. 1547), sebagai arsitek menara ini, adalah orang yang membangun benteng pertahanan Portugal ketika mereka menginvasi Maroko, maka tak aneh menara ini juga memiliki gaya arsitektur Moorish (muslim Arika Utara, atau Andalusia), sebagaimana yang terlihat di bagian menara pemantau. Sama seperti monasteri Jeronimo, menara Belem ini juga dibangun untuk memperingati kejayaan Portugal dan keberhasilan dunia maritim mereka. Para pelaut kebanggan kota ini kembali dari negeri jauh sana dengan membawa emas, rempah-rempah, dan barang mahal lainnya yang menjanjikan kekayaan dan kekuasaan.

Senin, 22 April 2013

Masjid Abul Haggag, Pertemuan Tiga Peradaban Besar Manusia

"Dunia adalah buku, dan siapa yang tidak bepergian, maka ia hanya membaca satu halaman saja."

St. Augustine of Hippo (w. 430 M)

Sekitar paruh terakhir abad 14 M, seorang sosiolog muslim tersohor, Ibnu Khaldun (w. 1403), setelah berkeliling dan jalan-jalan santai di Kairo, ia berkata; "siapa yang belum melihat Kairo, maka ia belum menyaksikan kebesaran islam." Ibnu Khaldun mungkin sangat benar, ia tidak bisa menahan decak kagumnya ketika melihat jalanan Kairo ini disesaki oleh deretan karya seni dan arsiktektur muslim yang berjejalan di setiap sudut kota. Horizon langit kota dipenuhi oleh puluhan menara yang menjulang-julang. Sementara hampir di setiap gang banyak dibangun masjid-masjid yang kaya akan seni arsikteturnya. Bagaimana tidak, setiap hari Ibnu Khaldun akan berpapasan dengan madrasah monumental yang baru saja selesai dibangun oleh Sultan Zahir Barquq (w. 1399 M), pendiri Dinasti Mamluk Burji di Mesir. Di dekat madrasah, masih ada panorama karya arsiktektur menakjubkan yang membetot hati Ibnu Khaldun. Sebut saja Madrasah Sultan Nashir Muhamad (w. 1341 M), dengan pintu gerbang bergaya khas ghotik yang diambil dari katedral ketika Acre tumbang tahun 1291 M, dihiasi oleh menaranya yang hanya ada satu-satunya di Kairo, dipoles oleh pahatan dan ukiran khas Afrika Utara. Melihatnya seakan terhempas ke alam surga arsitektur di Andalusia, Fez, Marakesh, atau Granada. Di samping madrasah Nashir Muhamad, ada komplek madrasah, makam, masjid, sekaligus rumah sakit yang membuat siapa saja pecinta arsiktektur akan mabuk kepayang ketika melihatnya dari dekat. Komplek itu dibangun oleh ayahanda Nashir Muhamad, yaitu Sultan Manshur Qalawun (w. 1290 M). Jendela dan dinding komplek terpampang megah dengan sentuhan gaya ghotik, sementara interior makam serta ukiran kubahnya bisa membuat mata seorang Ibnu Khaldun terbelalak. Lalu setiap sore, setelah selesai mengajar di sekolah-sekolah, Ibnu Khaldun kembali melihat senja Kairo dipenuhi oleh menara yang memenuhi kaki langit, membentuk siluet bak sihir yang membuat siapa saja akan terpana, dan betah berlama-lama menyusuri kota seribu menara ini.  

Kecintaan Ibnu Khaldun terhadap sejarah serta peradaban manusia itu ditularkan kepada murid kesayangannya, yang nantinya akan menjadi sosok sejarawan yang namanya harum, disebut-sebut sebagai rujukan paling pucuk dalam sejarah panjang perjalanan islam di Mesir, ia adalah al-Maqrizi (w. 1442 M). Nantinya, murid Ibnu Khaldun ini mengarang deretan buku sejarah yang sampai sekarang dijadikan pegangan, seperti al-khitot al-maqriziyah, dan al-suluk lima'rifati duwal al-muluk. 

Sampai sekarang pun, aku masih bisa menikmati puluhan masjid bersejarah di seantero kota Kairo yang sibuk ini. Menara-menaranya yang usang tak kalah bersaing dengan deretan gedung-gedung raksasa yang banyak dijejelkan di jantung pusat peradaban islam tandingan Cordoba ini. Tidak heran memang, islam sudah ada di kota ini sejak abad ke-7, penaklukan Mesir oleh sahabat Nabi Amru bin Ash dilanjutkan oleh sejumlah dinasti raksasa yang mewarnai perjalanan peradaban Mesir. Mereka meninggalkan warisan peninggalan berupa puluhan bahkan ratusan masjid, madrasah, khanqah, sabil, sabil kutab, karavanserai, rubu', Hod, khan, dan komplek pemakaman yang sampai sekarang masih bisa dilihat dan diraba. Peninggalan-peninggalan tersebut dengan sangat jelas menampilkan kepiawaian muslim dulu dalam bidang seni dan arsitektur. Aroma melting pot antar beberapa budaya dan tradisi lintas agama Nampak terlihat di sebagian monument tersebut, menandakan para pemeluk agama ini sudah sejak lama berinteraksi dengan dunia luar, dunia lain, yang juga sama-sama menyimpan prestasi dan peradaban yang memukau. 
patung Ibnu Khaldun di Tunisia

Akan tetapi, bagi pecinta arsitektur, Mesir tidak saja menampilkan sederet panorama seni pahat dan ukir yang berbau islam. Di balik debu, Mesir menyembunyikan peradaban lain, yang lebih dikenal, dan dikenang abadi oleh masa. Potret peradaban Mesir paling banyak menorehkan decak kagum umat manusia adalah peradaban Mesir Kuno yang membentang panjang lebih dari 3 milenia sebelum nabi Isa lahir. Kini, peninggalan peradaban Mesir Kuno hampir bisa didapati di seluruh kawasan dekat sungai Nil, membentang dari Pengantin Laut Tengah Aleksandria di Utara Mesir, sampai lembah nun jauh di Luxor dan Aswan di selatan.
Sekarang, situs-situs peninggalan dinasti raksasa ini dijejali oleh ribuan turis setiap tahun. Pecinta peradaban dan sejarah akan dimanjakan oleh deretan bangunan dan monumen elegan seperti kuil, pyramida, makam, ruangan bergaya hypostyle, rumah kelahiran, relief, makam berwarna, mumi, tiang-tiang raksasa, sphinx, obelisk dan lainnnya. Sebut saja tiga piramida raksasa di Giza, dekat Kairo, yang terpampang elegan dan menjulang menakutkan di horizon. Piramida agung Giza dibangun pada masa dinasti ke-4 Kerajaan Lama (Old Kingdom=memanjang dari dinasti ke-4 sampai dinasti ke-8, sekitar 2575-2134 SM) oleh tiga raja terkenal dalam semesta Mesir Kuno, yaitu Khufu, dilanjut anaknya Kafhre, lalu cucu Khufu bernama Menkaura. Piramida raja Khufu yang terbesar misalnya, dibangun oleh lebih dari 20.000 pekerja. Mereka diperintahkan menyusun lebih dari 2 juta balok batu untuk membangun sebuah makam sang raja. Sementara itu Sang Bapa Terror, atau Sphinx, terpampang gagah menjaga piramida Kafhre seakan siap menerkam siapa saja yang berani mengusik ketenangan sang raja. Di Karnak, Luxor, misalnya, sebuah kuil megah dibangun untuk dipersembahkan kepada Raja Segala Tuhan, Amun-Ra. Tidak jauh dari Karnak, kuil terpampang sangar di jantung kota Luxor, dibangun pada masa Dinasti Kerajaan Baru (New Kingdom=memanjang dari dinasti ke-18 sampai dinasti ke-20, dari tahun 1550 sampai 1070 SM) melaui titah Raja Amenophis III dan selesai pada masa raja diraja Ramses II. Makam raja-raja Mesir terkenal seperti Tutankhamun misalnya, ditemukan tidak jauh dari Luxor, yaitu kawasan terkenal sejagat bernama Lembah Para Raja (Valley of The Kings). Tak jauh dari sana, Ratu cantik kekasih Ramses II, Nefertari, beristirahat di Lembah Para Ratu (Valley of The Queens).  

Kamis, 07 Februari 2013

Mencari Jejak Dua Wali Qutub di Dassuq dan Tanta



Masjid Ibrahim Dassuki
Hujan turun sangat deras ketika angkot yang kami tumpangi melintas lambat di Manufia, sebuah provinsi hijau di Mesir yang terletak sebelah utara Kairo. Hujan deras ini membuat kami senang sejenak karena sudah lama sekali tidak melihat air hujan tumpah dari langit, mencium baunya, dan merasakan kelembaban tanah yang diguyurnya. Tetapi, rasa kangen terhadap hujan itu langsung diganjar dengan hawa dingin luar biasa setelah hujan berhenti. Isi angkot membeku, sekaligus menghempas ingatan-ingatan kami tentang hujan di kampung dan berharap agar hujan tidak turun lagi. 

Dua jam lebih kami menggigil sejak angkot meninggalkan Kairo. Yang kami lihat hanyalah bentangan sawah ratusan hektar tak berujung, dan kebun-kebun kesepian milik penduduk yang basah diguyur hujan. Desa-desa antah berantah hanya dipadati beberapa rumah yang terlihat kusam dari luar. Sepi. Sesekali aku melihat sekumpulan orang tua yang duduk kedinginan di samping jalan. Ngobrol ngalor ngidul tentang politik barangkali, umur tua dan jauh dari peradaban di Kairo tak membuat mereka buta akan berita dan perpolitikan dalam negeri.  Kaca yang berembun, jalanan yang becek, bau hujan, dan desa-desa yang sepi menjadi teman kami sepanjang  perjalanan menuju provinsi Dassuq, Tanta dan Mansuroh, tiga kota yang menyimpan harta karun sejarah dan masa silam yang akan selalu dikenang sampai kapanpun. 

Dassuq adalah kota pinggiran sungai Nil yang eksotik, hijau, dan subur. Kota yang terletak di jantung provinsi Kafr el Syeikh ini menyimpan cerita masa silam yang panjang dan tokoh lokal yang namanya abadi. Ada yang membuat kami menarik di kota ini, yaitu sejarah dan memori yang berhasil membetot kami dari Kairo dengan menempuh jarak 167 km plus kedinginan. Tepat di jantung kota, terdapat masjid dan makam salah satu kutub wali terkenal sejagat dunia thariqah dan tasawuf islam. Kota ini harum karena menjadi tempat istirahatnya Ibrahim Dassuki, seorang wali dan sufi terkenal dalam semesta kewalian islam dan menjadi salah satu dari 4 kutub wali yang namanya mengaung nyaring di dunia islam. 

Hujan di Manufiah
setelah lebih dari 4 jam, kami akhirnya sampai di jantung kota Dassuq, tempat sang wali dimakamkan. Kelelahan dan kedinginan kami diganjar oleh pemandangan masjid yang megah dan besar. Berwarna kuning kecoklatan dengan 4 menaranya yang menjulang di kaki langit dengan gagah. Kami melihat sebuah kubah raksasa menghiasi masjid, didekeng empat menara dari 4 sisi. Kubah dan keempat menara itu bergeming sangar, seakan menjadi penjaga setia sang wali. 

Sebuah makam dengan kubah raksasa diatasnya, diam membisu di sudut masjid besar ini. Di dindingnya tertulis ini makam sayyidi Ibrahim Dassuki. Tempat ini dulunya adalah zawiyah, sebuah tempat menyepi (khalwat) para sufi yang dibangun oleh Sultan Asyraf Khalil (memerintah Mesir dari tahun 1290-1293 M), salah satu sultan Dinasti Mamluk yang namanya mengiang  nyaring dalam sejarah islam karena jasanya yang berhasil membumi hanguskan benteng terakhir orang-orang Frank  di Acre dan membuat semesta Syam, Greater Suriah, bebas dari orang-orang berbaju salib. Sultan Asyraf membuatkan sebuah zawiyah untuk Ibrahim Dassuki karena mengetahui dia adalah seorang sufi yang memang sangat gemar merenung dan menyendiri dengan Tuhan. 

Setelah sang wali wafat, salah satu Sultan Dinasti Mamluk Burji paling tersohor, Asyraf Qaitbay, membuatkan makam untuknya dan masjid di sampingnya. Menara masjid ini kental dengan gaya arsitektur menara garapan dinasti mamluk, mungkin Qaitbay juga yang membangun 4 menara masjid ini sekaligus. Hanya saja warna menara, kubah, dan masjid sudah berubah total dari pertama kali dibangun. Andai saja menara ini tidak dikuningkan, mungkin corak zig-zag yang terdapat di keempat menara akan berwarna-warni menyegarkan seperti kedua menara Amir Syaikhu di Kairo. Perubahan masjid besar-besaran dilakukan pada tahun 1880 M oleh Khediv Taufiq, penerus eyang Muhamad Ali. Terakhir kali diperbaharui total oleh presiden Mesir kedua sekaligus teman Sukarno, yaitu Gamal Abdul Nasher pada tahun 1969 M. 
Kubah Masjid

Dekorasi dalam kubah sudah tidak asli lagi. padahal dari luar, kubah masjid ini mirip bentuknya dengan kubah Fidawiyah garapan sultan Qaitbay di Abbasiyah, yang menyembunyikan seni pahat, kaligrafi, dan arabes super rumit dan memanjakan mata. Sejejer dengan kubah makam Imam Syafi’I di Qorrofah,  Kubah Yashbak di Qobri Qubbah, atau kubahnya makam Sultan al-Manshur Qalawun di Syaria Mu’iz.

Ibrahim Dassuki dan Dinasti Mamalik

Ketika Dinasti Mamalik berkuasa di Mesir dan Syam, semesta islam direpotkan oleh gempuran serangan yang tak berkesudahan, datang dari dunia jauh dan tak terlihat. Perang salib yang meletus tahun 1095 M dan berlangsung dua abad lebih telah membuat dunia heboh oleh peperangan tak berujung antara muslim dan kristiani Eropa. Jagad Syam (Suriah, Palestina), Mesir, dan Asia Dekat menjadi medan pertempuran berdarah yang menakutkan dalam sejarah. Kedua pihak diganjar oleh meninggalnya ribuan tentara, prajurit, panglima, rakyat biasa, agamawan, intelektual, dan nantinya akan menyisakan luka dan trauma berabad-abad kemudian. Sampai sekarang.