Minggu, 06 Januari 2013

Masjid Shaleh Ayub dan Memori Perang Salib ke-7



kota Mansoura membeku di musim dingin. Sisa-sisa kabut dari sudut jalanan masih membayang, menyembunyikan langkah langkah keledai yang ditunggangi penjajak sayuran. Kedai-kedai kopi masih sepi, sementara sebagian toko masih tutup, di depan pintu toko hanya tersisa beberapa gelas bekas teh yang sudah dinikmati tadi malam. Yang ramai hanya penjual makanan khas Mesir, penjual full dan falafil akan selalu ramai kapanpun. Hari-hari menjelang ujian awal semester ini aku lebih sering membungkus diri dengan selimut di kamar. Menyentuh air pagi hari adalah pilihan berat, harus berani menggigil dalam beberapa menit. Seharian mempersiapkan materi ujian terasa membosankan. Diktat-diktat kuliah masih saja tebal untuk dirampungkan, apalagi sebagian buku dicetak oleh percetakan usang yang terlalu percaya diri, sehingga tidak saja tulisan sulit dibaca, font yang digunakannya saja tidak jelas dan tidak berkualitas.

Tiba-tiba aku ingin kembali menjelajah. Menikmati arsitektur dari berbagai masa merupakan kesenangan tersendiri bagiku, apalagi ketika bersinggungan dengan sejarah kemanusiaan dan peradaban yang menakjubkan. Di kamar yang membeku ini, ingatanku langsung terhempas pada mesjid-mesjid tua usang di Kairo. Siapa yang bisa melupakan kemegahan mesjid kembar Sultan Hasan dan Rifai. Siapa saja yang pernah mengunjungi Mesjid Sultan Barquq yang terletak di Jalan Mu’iz akan sulit melupakan keindahan dan kemegahan arsitektur dan ornamen yang dimiliki mesjid itu. Madrasah-madrasah abad pertengahan masih menceritakan kepadaku tentang proses belajar mengajar yang kental akan toleransi. Khanqah-khanqah raksasa masih saja menyisakan nuansa mistik dan membuat hati bergetar tatkala mengingat sosok-sosok sufi yang menyepi disana. Gerbang-gerbang raksasa Zuwaila, Futuh, Nasr, selalu mendengungkan kisah-kisah epik masa-masa silam, membuatku teringat filem-filem kolosal seperti Kingdom of Heaven, Braveheart, dan Lord of The Ring.

Siang hari, aku bersama kawanku berjalan melewati gang-gang sempit. Disisi jalan, banyak sekali tumpukan sampah yang berserakan dibiarkan. Kota-kota di Mesir memang jarang memiliki tempat sampah umum. Orang-orang pede itu dengan santainya melempar sampah ke sisi jalanan umum. Membuatku mengendus bau busuk dan membuat kota pengantin ini tercemar kebersihannya. Tetapi lagi-lagi, aku terobati dengan melihat perempuan Mansoura yang terkenal cantik dan menawan. Mereka lalu lalang sepanjang kota, suara tawa mereka yang ringan terdengar merdu. Gaya pakaian mereka modis, ada yang membuat mata terbelalak beberapa detik, ada juga yang adem dipandang. Rona merah di pipi mereka serasa jelas, alis yang sedikit jarang digabung dengan bola mata yang sedikit berkilauan membuatku melupakan aroma-aroma tidak sedap sepanjang jalan. Wajah gadis-gadis itu sangat berbeda dengan gadis-gadis yang hidup di negara-negara teluk. Wajah gadis Mansoura lebih merupakan perpaduan antar ras, darah, warna kulit, dan rona wajah yang berbeda-beda. Melihat wajah mereka, aku serasa melihat paras khas orang-orang Eropa, tetapi juga merasakan dengan kental paras arab yang rupawan. Perpaduan ini menciptakan kecantikan tersendiri yang dimiliki gadis-gadis itu, membuatku betah berlama-lama menelusuri jalanan di kota ini.

Dar Ibnu Lukman, tempat Raja Louis IX ditahan
Dar Ibnu Lukman
Sampai di jalan Port Said, aku melihat bangunan kecil tempat ditawannya Raja Louis IX. Bangunan ini bernama Dar ibnu Luqman. Louis ditawan disini setelah kalah dalam perang Mansoura (1249-1250 M). Setiap kali melihat tempat tawanan ini, ingatanku langsung melayang-layang pada peperangan epik yang terjadi disni. Mengingatkanku kepada deretan panglima-panglima muslim yang berhasil membuat Mesir tidak terjebol, juga membuatku mengingat sosok salah satu Sultan Dinasti Ayubiyah terkenal, Shaleh Najmuddin Ayyub (1205-1249 M), yang memimpin Mesir kala itu.    
Dibelakang Port Said Street terdapat jalan Awwal Abbasi, aku tidak mengira di sini ternyata terdapat mesjid bersejarah. Mesjid ini sangat kental dengan nuansa silam. Warna mesjid sangat kontras berbeda dengan warna bangunan disekelilingnya. Berdiri megah tapi pucat ditengah tumpukan toko-toko yang berisik, dan bergeming diantara lalu lalang kendaraan yang sibuk disini. Bagian yang masih utuh hanya bagian atas mesjid, warna merah dan coklat yang dipadukan bergaris-garis begitu kontras. Cekungan stalaktit pada menara membuatku kembali mengingat mesjid-mesjid tua di Kairo. Ternyata gaya arsitektur itu masih aku dapati di Mansoura. Melihat warna mesjid, ada sedikit perbedaan ketika dibandingkan dengan semua bangunan Ayubiah.  Warna merah bergaris-garis dan diselingi warna coklat (ablaq) membuat mesjid ini lebih mirip Khanqah dan Madrasah Faraj bin Barquq (dibangun pada masa Mamluk Burji awal) yang terletak di Qarrafa, City of The Dead. Corak ablaq ini juga didapati di madrasah Kamiliyah di Kairo, salah satu madrasah garapan Dinasti Ayubiah di Mesir. Jendela berbentuk trilobit juga serasa masih megah dan mempunyai nuansa Eropa, ditaburi tiga lubang berkaca mosaik dan membentuk bulatan indah. Menaranya menjulang tinggi. Menara ini sangat berbeda dari menara-menara yang marak pada masa Ayubiah kala itu, stalaktik yang rumit, ukiran-ukiran yang ditaburi ornamen membuat menara ini mirip menara-menara yang dibangun generasi islam setelahnya. Sepertinya para Mamalik terinspirasi dari menara ini ketika mereka membangun puluhan mesjid yang bertebaran di Kairo. 

Memasuki mesjid ini, perasaanku girang luar biasa. Akhirnya bisa menikmati nuansa klasik lagi setelah lama tidak berkunjung ke mesjid-mesjid tua di Kairo. Tapi sedikit mengecewakan. bagian dalam mesjid ini sudah dicat sedemikian rupa. dinding-dindingnya yang seharusnya berwarna coklat tua malah dicat putih. tempat shalat dan mihrab berada di lantai dua, dihubungkan dengan tangga yang juga sudah banyak dilakukan perubahan konstruksi. Diruangan tempat mihrab berada, suasana klasik mesjid ini sedikit menghilang. seisi ruangan dicat dengan cat putih moderen. yang tersisa hanya bentuk jendela yang memanjang dan diujungnya terdapat kaca berwarna (stained glass) membundar. jendela kayunya masih utuh. yang disayangkan, bagian klasik mesjid ini hanya bisa dilihat dari luar, itu juga bagian atas saja. Bagian bawah mesjid sudah diganti oleh jejeran toko dan ruko. 
Masjid Najmuddin Ayyoub

Sejarah mengenai mesjid ini tidak begitu banyak, buku-buku yang menggambarkan mesjid di kairo tidak pernah menyinggung tentang permata arsitektur yang kesepian ini. Mungkin karena letaknya jauh dari Kairo, kota Mansoura terletak 120 km dari Kairo. Sumber sejarah tidak banyak 
menyebutkan tahun dibangunnya mesjid ini, ada yang mengatakan dibangun tahun 1240 M, tahun ini adalah tahun Najmuddin pertama kali menjadi Sultan Ayubiah dan menguasai Mesir. Mesjid ini selain untuk shalat, juga untuk tempat istirahat para budak Najmuddin. Mereka datang dari Kairo dan istirahat di mesjid ini. Shaleh Najmuddin Ayub terkenal memiliki budak yang setia, ia melatih para budaknya sejak mereka kecil, dan menempatkannya di pulau Rouda, Miniel sekarang. Mamalik asuhan Shaleh Ayyub terkenal dengan nama Mamluk Bahri, karena mereka tinggal di benteng Rouda yang dekat dengan sungai (bahr) Nil. 



Sultan Shaleh Ayyub dan Memori Perang Salib ke-7

Sultan ketujuh dinasti Ayyubiah ini bernama lengkap Al Malik Al Shaleh Najmuddin Ayub bin Al Malik Al Kamil Muhammad bin Adil. Memerintah dari tahun 1240-1249 M.  Shaleh Ayub terkenal telah membentuk Mamalik Bahri yang kemudian hari meneruskan tampuk kekuasaan di Mesir. Najmuddin Ayub (aku lebih suka menyebutnya Najmuddin Ayub daripada Shaleh Ayub) adalah sultan yang hidup di masa peperangan mengerikan yang berulang kali terjadi di bumi Mesir. 
Pemandangan sungai Nil Mansourah

Pada tahun 1218 M, Mesir diserang oleh Pasukan Salib pimpinan John of Brienne (1155-1237 M). Kala itu Najmuddin masih berumur 12 tahun. Ribuan tentara salib Eropa bertolak dari Acre, mereka menuju tepi barat kota Dimyath. Ayah Najmuddin Ayub, Al Malik Al Kamil Muhammad bin Adil geram dan berangkat dari Kairo menuju Dimyath. Pasukan salib yang besar membuat Al Malik Kamil kewalahan. Pada masa genting itu, sultan Adil (kakek Najmuddin) meninggal dunia dan tampuk pertahanan Mesir ia serahkan kepada Al Malik Al Kamil. Setelah 16 bulan tentara Salib mengepung Dimyath, akhirnya mereka berhasil menguasai kota besar itu secara keseluruhan. Ketika mereka hendak berangkat menuju kairo, mereka dihadang oleh pasukan muslim yang berjumlah besar. Pasukan muslim mengepung mereka dari berbagai penjuru, hingga akhirnya pasukan salib menyerah dan melakukan perjanjian damai dan gencatan senjata dengan Al Malik Al Kamil. Pada tahun 1221 M, Dimyat kembali dikuasai tentara muslim. 

Setelah itu, dinasti Ayubiah menjadi goyah karena terlibat perseteruan antar saudara. Sesama saudara saling berebut kekuasaan dan pengaruh, membuat mereka harus menghunuskan mata pedang ke wajah saudara kandung sendiri. Semesta Syam, Asia Tengah, dan Suriah waktu itu terjadi pergolakan panas antar beberapa kubu. Sejarah mencatat dalam kurun tahun-tahun itu berbagai kejadian besar. Kejadian-kejadian itu terlampir pada buku-buku sejarah yang sampai sekarang bisa dinikmati. Sampai akhirnya Najmuddin Ayub menjadi sultan Ayubiah dan menguasai Mesir pada tahun 1240 M. 

Pada tahun 1245 M, Paus Innocent IV memberikan ultimatum kepada pasukan salib prancis untuk menyerbu Mesir dan membungkam mereka dari pertikaian tidak berkesudahan di dataran Syam dan Suriah. Gereja Eropa mempercayakan bendera salib kepada raja Prancis, Louis IX. Gereja juga mewajibkan masyarakat disana untuk mengumpulkan uang demi membiayai pasukan raksasa yang akan berangkat ke Mesir. 

Perang salib yang tujuannya merebut Yerusalem, kini bertolak ke bumi kinanah, karena Mesir merupakan satu-satunya benteng terkuat pasukan muslim kala itu. jika Mesir tumbang, jalan menuju Yerusalem akan mudah.

Raja Louis IX
Pagi hari tanggal 5 Juni 1248 M, pasukan prancis tiba di Dimyath. Louis mengirim surat kepada sultan Shaleh Ayyub berisi ancaman kepadanya dan memerintahkannya untuk menyerahkan Mesir ketangan mereka. Sultan Najmuddin Ayub kebakaran jenggot, dan kembali mengancam Louis dengan kekalahan yang mengerikan akan menimpa pasukannya jika ngotot menyerang Mesir. 
Najmuddin mengerahkan panglima handalnya bernama Fakhruddin Yusuf (wafat 1250 M). Fakhruddin berangkat ke Dimyat dengan pasukannya yang berjumlah besar, sementara lautan di tepi Dimyath dipenuhi oleh skuadron pimpinan Hisamuddin bin Abi Ali. Akan tetapi, pasukan darat muslim tidak dapat membendung serangan pasukan salib yang bertubi-tubi. Fakhruddin terpaksa mundur ke kamp pertahanan muslim yang ada di kota Asymum. Dimyath menjadi goyang dan tidak stabil, bahkan orang-orang arab yang ikut berperang berlarian melarikan diri. Pasukan Salib dengan mudah menguasai Dimyath dan mengubah mesjid-mesjidnya menjadi katedral. Najmuddin Ayub membentak Fakhruddin dengan keras, ia berkata kepadanya; “apakah kalian tidak mampu menghadang pasukan Frank itu meski sejam?”

Najmuddin geram dan memberikan ultimatum umum kepada semua rakyat Mesir untuk mempersiapkan diri mempertahankan Mesir dari bangsa Frank (pasukan salib). Dengan suara menggelegar Najmuddin membacakan ayat-ayat Quran penyemangat; Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Dengan serempak warga Mesir berangkat berduyun-duyun ke Mansoura, mereka akan memberi dukungan kepada para pasukan disana, dan berjuang mati-matian demi negara yang mereka cintai. 

Pada tahun 1249 M, setelah pasukan Salib menguasai Dimyath selama 6 bulan, Louis berangkat bersama ribuan pasukannya menuju Kairo. Pasukan muslim sudah siap-siap di tepi sungai Asymum, mereka mendirikan pangkalan, benteng dan pagar-pagar yang kokoh. Pada saat itu, kedua pasukan saling bertempur. Manjanik berkali kali melemparkan bola api, melayang-layang dilangit-langit Mansoura. Parit-parit digali dekat kamp masing-masing, sementara sungai nil dipenuhi teriakan teriakan kemarahan. Suara takbir terdengar menggema gema dari setiap sudut. Jembatan yang diabangun untuk mencapai kamp pasukan muslim berkali kali dihancurkan oleh bola api dari manjanik. Suara pedang terdengar nyaring menyayat telinga. Tameng-tameng logam mengeluarkan percikan api ketika diadu satu sama lain. Di tengah kecamuk perang itu, Sultan Najmuddin Ayub meninggal dunia pada 23 Nompeber 1249 M. Najmuddin meninggalkan Mesir setelah 9 tahun memerintah. Selir Najmuddin, Shajarat Dur memindahkan mayat Najmuddin secara diam-diam ke kediamannya di Pulau Rauda, kairo. Kabar kematiannya disembunyikan untuk menjaga stabilitas mental pasukan yang masih bertarung di Mansoura.

Kabar kematian Najmuddin ternyata dicium oleh pasukan Salib. Mereka dengan penuh semangat berapi-api menembus barikade pasukan muslim dan berhasil menyebrangi sungai Asymum. Mereka tiba di kamp pertahanan muslim di Gedela. Disana, Fakhruddin Yusuf terbunuh dan pasukan mundur ke Mansoura. Farisuddin Aqthai tampil menggantikan Fakhruddin. Di Mansoura, ribuan tentara yang dibantu warga sipil secara serempak menyerbu pasukan salib yang tiba di sana, Farisuddin dibantu oleh ahli perang monumental yang dikemudian hari menjadi sultan Mamluk, Baybars Bunduqdari.
Pasukan salib kewalahan dan mundur kembali ke Dimyath.

Di daerah Farskur, mereka akhirnya kalah dan Louis IX menyerah kepada kaum muslim. Louis akhirnya dijadikan tawanan dan mendekap dirumah Ibnu Lukman. Ia ditawan bersama saudara dan sebagian panglima perangnya selama satu bulan. Setelah itu, istrinya meminta ia ditebus dengan uang yang sangat besar. Kaum muslim juga meminta Dimyath dilepaskan. Pada tahun 1250 M, kota yang dulunya delilingi taman dan berbunga ini dinamakan Manshuroh, yang berarti kota yang tertolong. Sampai sekarang, kota Mansoura ini masih menjadi kota yang besar, indah, dan memiliki panorama pemandangan yang menakjubkan disamping menyimpan perjalanan sejarah yang besar.
Najmuddin Ayub dan pasukannya berhasil memukul mundur ekspansi perang salib. Hingga akhirnya membuat Mesir menjadi benteng yang sulit dijebol oleh mereka dalam beberapa tahun ke depan. Setelah Najmuddin tiada, obsesinya diteruskan oleh budak yang dulu diasuhnya. Pada tahun 1260 M, budak-budak yang dulu dididiknya berhasil memukul mundur pasukan Mongol di Ain Jalut. Baybars Al Bunduqdari adalah sosok budak Najmuddin yang kemudian hari bersinar, namanya harum dalam semesta sejarah islam.

Najmuddin menyisakkan kenangan tentangnya di Mansoura melalui mesjidnya yang sampai sekarang bisa dinikmati baik arsitekturnya atau memori sejarahnya. Membuat kota pengantin Nil ini bukan saja memiliki pemandangan yang menakjubkan, gadis gadis rupawan, tetapi juga menyimpan sejarah masa silam yang epik luar biasa.

Further reading:
Misr Baina Hamlatai Louis wa Napoleon, Dr. Faraj Muhamad Washif
Crusades; The Illustrated History, Thomas F. Madden 
Atlas al Hamalat al Shalibiyyah 'ala al Masyriq al Islami, Sami bin Abdullah bin Ahmad al Magluts 

NB: photo diambil dengan menggunakan Kamera Canon Power Shot SX120 IS 




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar