Minggu, 28 Oktober 2012

Masjid Sultan Baybars, Ambisi Yang Mengguncang Mongol

pintu depan masjid

Di sebuah kafe di bilangan Maydan Dzahir, aku duduk santai sembari meneguk segelas kopi manis campur susu, rasanya begitu nikmat dan melekat pada lidah. Tegukan yang pelan dan sedikit-sedikit menambah rasa kopi khas kafe Mesir ini tak bisa aku lupakan. Di sekelilingku orang-orang tua duduk bersama, mereka bermain domino. Tangan mereka sesekali memegang selang syisa lalu mengisapnya, perlahan-lahan asap tebal keluar dari hidung dan mulut mereka. Di depan kafe, jalan raya yang tidak begitu luas namun sesak masih saja ramai, mobil-mobil bus jurusan amiriyah yang berwarna merah sesekali melintas, sementara klakson taksi ditekan sekeras-kerasnya oleh si supir ketika mobil di depannya berjalan agak lambat. Namun, pengunjung kafe nampaknya tidak menghiraukan hiruk-pikuk di luar, seisi kafe diramaikan oleh gelak tawa orang tua, obrolan-obrolan pemuda, suara dari mainan domino, dan asap syisya yang menari-nari di setiap sudut ruangan.

Hal yang membuatku sering mengunjungi kafe ini tidak hanya karena rasa kopi susunya yang nikmat, namun ada sesuatu yang lebih besar. Kafe ini bernama Baybars, nama yang asing untuk orang Arab, apalagi orang Asia sepertiku. Namun, pemilik kafe nampaknya tidak sembarangan memberi nama. Ya, nama itu dimiliki oleh seseorang luar biasa yang dulu hidup di sini. Seseorang lelaki yang namanya harum sejagat Mesir, dan namanya tertera di lembaran-lembaran buku sejarah. Ceritanya dibacakan di setiap sekolah atau universitas. Lelaki muslim tersebut selalu dikenang jasanya dalam sejarah-sejarah peperangan islam. Keberaniannya, kepintarannya, kepiawaiannya selalu membawakan kebanggaan, bahwa  islam pernah memiliki sosok luar biasa sepertinya.

Di depan kafe inilah, salah satu peninggalannya yang akan mengabadikan namanya terpampang jelas, sebuah mesjid raksasa yang berdiri tak bergeming di tengah sesaknya arus lalu lintas di sini. Sebuah mesjid, yang dibangun oleh lelaki mantan budak, yang nantinya akan merubah sejarah dunia peradaban islam, lelaki itu bernama Dzahir Baybars al Bunduqdari.

Kopi yang tidak lagi panas itu aku teguk sembari melihat pemandangan mesjid dari dekat. Warnanya sudah memudar, hitam, coklat, dan putih. Masa yang terlalu lama telah memakan keutuhan mesjid bersejarah ini. Yang tersisa hanya tembok luar, juga ukiran-ukiran di dindingnya yang juga mulai terhapus oleh waktu. Namun, memori tentang siapa pembangun mesjid ini masih tersebar di buku-buku sejarah. Namanya mengiang nyaring lewat pertempuran yang menentukan nasib islam, yaitu pertempuran mematikan di Ain Jalut, dimana umat islam dihadapkan dengan pasukan paling menakutkan di dunia, Mongol.

Antara Baybars, Pasukan Salib, dan Mongol

Musim dingin tahun 1250 M, peperangan dahsyat meletus antara pasukan salib dan pasukan Dinasti Ayubiyah di Mesir. Peperangan itu terjadi di sebuah kota bernama Manshuroh, 120 km dari Kairo, ibukota Mesir. Louis IX Raja Prancis, berhasil menduduki Damietta dan hendak menggiring pasukan bersalibnya menuju Kairo untuk menumbangkan pertahanan terakhir Ayubiah. Namun, mereka dihadang oleh gelombang pasukan muslim di Manshuroh. Dipimpin oleh tiga komandan pasukan kawakan, Fakhr al Din el Yussuf, Faris al Din Aqthai, dan sang legenda, Dzahir Baybars. Louis mengerahkan jenderal-jenderal andalannya, Guilaume de Sonnac, Alphonso de Poitiers, dan William II Longespee. Gelombang pasukan salib yang berjumlah 80 ribu pasukan tersebut bertarung melawan pasukan muslim di Manshuroh, dan menyebabkan salah satu jenderal muslim, Fakhr al Din Yusuf meninggal. Kendali perang dipegang oleh Faris al Din Aqthai dan Baybars. Sontak, Baybars berteriak sembari membacakan takbir menembus pasukan salib, sampai akhirnya mereka kocar-kacir dan berlarian ke arah Damietta.



Kelompok pasukan salib terkuat, ksatria templar dan ksatria hospitaller kocar-kacir tak karuan, mereka tidak selamat dari tebasan dan amukan Baybars dan Aqhtai. Bahkan adik Louis, Robert de Artois, mati terbunuh ketika didapati sedang bersembunyi di sebuah rumah. Louis, menawarkan perdamaian, yaitu pasukan muslim menyerahkan Damietta, dan Louis akan menyerahkan Yerusalem dan sebagian tepian Syam. Namun Turan Shah, anak Sultan Najmuddin Ayyub, menolak dengan tegas tawaran itu. Kini, Louis tidak punya pilihan kecuali melarikan diri dari Mesir. Malam hari, Louis dan sisa pasukannya melarikan diri ke arah Damietta. Namun, mereka tersusul di Fariskur dan tak dapat menahan serangan bertubi-tubi dari pasukan muslim. Hingga akhirnya, Louis ditawan dan ditahan di Dar Ibn Luqman di Manshurah, yang bangunannya sampai sekarang masih ada di sana.

Kemenangan di Manshuroh semakin melejitkan nama Baybars. Karirnya segera naik sebagai pimpinan Mamalik asuhan Shaleh Najmuddin Ayyub, bersaing dengan asuhan Izz al Din Aybak, suami Shajarat el Durr, yang kala itu didekeng oleh lelaki ambisius terkenal dalam sejarah, Saif al Din Qutuz.

Kairo selamat dari ekspansi bangsa Frank dan menjadikannya benteng yang sulit dijebol oleh kekuatan salib. Namun, semesta Islam Persia, Baghdad, dan Syam mulai menatap bayang-bayang ancaman lain. Dunia islam telah dijadikan sasaran oleh musuh tak terlihat, datang dari dunia lain selain orang-orang berbaju salib. Ancaman menakutkan itu datang dari Asia, dibawa oleh pendiri dinasti mengerikan yang pernah dikenal sejarah, Jengis Khan.

Sejak tahun 1220 M, dunia islam di wilayah Persia goncang. Luluh lantak oleh ekspansi bangsa nomaden itu. Wilayah-wilayah islam penting seperti Turkistan, Bukhara, Adzerbeijan, dan Khurasan tumbang satu persatu ke tangan Jengis. Kerajaan Khawarizmi musnah. Kini, Baghdad menjadi incaran, kota Dinasti Abbasiyah tersebut akan mengalami kehancuran mengenaskan beberapa tahun ke depan.


Pada tahun 1258 M, dunia islam menyaksikan kehancuran peradabannya yang telah dibangun susah payah di Medinat el Salam, Baghdad, si kota perdamaian. Pasukan mongol yang dipimpin cucu Jengis, Hulagu, membungihanguskan kota Baghdad dan seisinya yang merupakan pusat Dinasti Abbasiyah. Peradaban islam yang telah ada di sana selama beberapa abad lenyap, hangus, dan rata dengan tanah. Mesjid, sekolah, rumahsakit, sistem irigasi, tanggul, semua musnah. Termasuk Bait al Hikmah, pusat intelektual paling monumental di dunia kala itu, juga hangus terbakar. Jutaan buku yang ada di dalamnya dilempar ke sungai Tigris, sampai-sampai ada yang mengatakan warna air sungai berubah menjadi hitam karena banyaknya tinta yang mencair dari buku-buku tersebut.

Kurang lebih 800 ribu penduduk Baghdad dibunuh. Bahkan khalifah terakhir, Al Musta’shim billah, dibunuh oleh Hulagu. Tragedi berdarah ini mengakhiri dinasti Abbasiyah di Baghdad, juga membumihanguskan warisan peradaban islam yang telah dibangun susah payah di sana. Semesta islam di dunia terguncang. Pusat kekuasaan islam di Aleppo, Damaskus, Kairo, Maroko, dan Andalus mulai mengerti bahwa selain pasukan bersalib, mereka kini tengah berhadapan dengan musuh baru yang lebih ganas dan membabi buta.

Baybars, melihat tragedi tersebut menjadi geram. Di dalam dadanya terdapat api yang menyulut-nyulut. Peradaban yang dibangun oleh agamanya hancur dalam beberapa hari. Kota paling dijadikan rujukan intelektual pada masanya telah hangus dan rata dengan tanah. Dalam jiwanya, api jihad telah berkobar-kobar begitu hebat.

Pertempuran di Ain Jalut, Penentu Sejarah Islam

Setelah Baghdad luluh lantak, Hulagu mengarahkan serangan lanjutannya ke Syam, yang waktu itu berada pada kekuasaan Sultan Ayubiah. Untuk mewujudkan ambisinya, Hulaqu beraliansi dengan kerajaan kristen sehingga membentuk pasukan mengerikan yang pernah disaksikan selama tahun 1260 M. Hulagu didekeng tiga aliansi sekaligus, Georgia, tentara Armenia dibawah pimpinan Raja Armenia Hethum I, dan pasukan salib pimpinan Bohemond IV, penguasa Antiokia. Bulan Maret, gelombang pasukan raksasa tersebut bertolak menuju Aleppo, sebuah kota bersejarah di Syam. Benteng Aleppo dibombardir oleh serangan aliansi hingga jebol. Aleppo pun tumbang. Populasi muslim bahkan Yahudi di sana dibantai tanpa belas kasihan. Setelah jatuhnya Aleppo, Hulagu terus bergerak ke arah Damaskus yang waktu itu dipegang oleh Sultan Ayubiah, Al Nashir Yusuf. Para pembesar Damaskus dan penduduk gemetar melihat ribuan pasukan berkuda mengelilingi kota mereka. Akhirnya mereka menyerah tanpa syarat kepada Hulagu. Damaskus secara resmi telah jatuh ke tangan bangsa nomaden ganas tersebut. Kini, benteng kekuasaan islam terkuat yang tersisa hanya satu, yaitu Mesir, si bumi kinanah.

Ketakutan dengan cepat menjalar ke setiap penduduk di Mesir. Bangsa ganas itu tidak lama lagi akan menuju Mesir. Jika Mesir jatuh, maka islam berada pada ujung tanduk. Jika umat muslim di Mesir tidak dapat membendung serangan Mongol, maka nasib kota-kota lain yang dibangun umat islam akan hancur total, hangus seperti Baghdad.

Keadaan semakin genting, setiap orang menampilkan raut muka ketakutan, anak-anak kecil selalu memegang lengan baju jalabiya ayahnya dengan keras, sementara perempuan-perempuan mulai tidak berani keluar rumah. Sementara itu, di Citadel, para pembesar Dinasti yang baru lahir, Mamalik, tengah memikirkan nasib Mesir, juga nasib agama Islam.
Qutuz dipilih sebagai Sultan Mamluk menggantikan anak Aybak yang masih kecil. Kini, nasib Mesir dan umat islam berada di tangan Qutuz. Sebelum bertolak ke Mesir, Hulagu mengirimkan surat kepada Qutuz untuk menyerahkan Mesir ke tangannya. Isi surat itu membuat siapa saja yang membacanya pasti begetar, kecuali Qutuz, yang dikarunia mental pahlawan, dan pemberani.

Dari Raja Segala Raja di Timur dan Barat, Khan yang Agung. Kepada Qutuz sultan Mamluk, Yang berusaha melarikan diri dari pedang kami.

Kau hendaknya memikirkan apa yang telah terjadi pada negara-negara lain,,,dan menyerahlah pada kami. Kau tentu telah mendengar bagaimana kami telah menaklukkan kerajaan yang luas, dan menjaga bumi dari keditakteraturan yang disebabkan mereka. Kami telah menaklukkan area yang luas, dan membantai seluruh orang-orangnya. Kau tidak akan bisa melarikan diri dari teror pasukan kami.

Mau ke mana kau hendak pergi? Jalan mana yang akan kau ambil untuk melarikan diri dari kami? Kuda-kuda kami sangat cepat, panah-panah kami sangatlah tajam, pedang-pedang kami layaknya halilintar, hati kami keras sekeras gunung, prajurit kami sebanyak pasir. Benteng seperti apapun tidak dapat menahan kami, tentara seperti apapun tidak dapat menghentikan kami. Doa-doa yang dipanjatkan kedapa Tuhanmu tidak akan mempan melawan kami, kami tidak akan tergerak hanya karena air mata, juga tidak tersentuh oleh ratapan dan rintihan. Hanya mereka yang meminta perlindungan kamilah yang akan selamat.

Tulis balasanmu sebelum api perang menyulut. Melawan, maka kau akan merasakan bencana paling mengerikan. Kami akan menghancurkan mesjid-mesjidmu, dan menunjukkan kelemahan Tuhanmu, lalu kami akan bunuh semua anak-anakmu bersama orang-orang tuamu.

Sampai sekarang, hanya kaulah satu-satunya musuh yang akan kami lawan.”

Qutuz terdiam beberapa detik, sorot matanya begitu tajam. Nafasnya memburu membaca ancaman dari musuh paling ditakuti di dunia itu. Tanpa ragu, Qutuz segera mengambil keputusan berbahaya, ia menyuruh ke empat utusan Mongol yang membawa surat itu dipenggal, dan kepalanya digantung di Gerbang Zuwaila. Satu utusan dibiarkan hidup agar menceritakan kepada Hulagu atas sikap apa yang diambil Mesir. Qutuz sadar, ia telah mengambil keputusan paling berbahaya sepanjang hidupnya. Dengan cepat, Mongol pasti segera menyerang Mesir dengan membabi buta ketika mengetahui balasannya. Qutuz segera memanggil panglima pasukan paling dikaguminya sekaligus rivalnya, yaitu si singa Dzahir Baybars.

Hulagu geram bukan main, ancamannya dibalas dengan kematian utusannya. Ia segera melancarkan pasukan raksasanya untuk segera menyerang Mesir dan membumi hanguskan negeri para Nabi itu sebagaimana yang telah mereka lalukan di Baghdad. Sesampainya di Palestina. Hulagu mendengar kabar bahwa saudaranya, Mongke Khan, meninggal dunia. Hulagu mau tidak mau harus pergi ke Karakorum untuk menghadiri rapat yang akan menunjuk siapa khan pengganti Mongke. Hulagu akhirnya menyerahkan sebagian pasukannya kepada sahabat dekatnya, jenderal mongol senior dan penganut kristen Nestorian asal Turki, bernama Kitbugha Nouyan.

Bersama kurang lebih 20 ribu pasukan, Kitbugha segera melaksanakan mandat Hulagu, ia langsung bertolak ke arah Mesir. Sementara itu, Sultan Qutuz berdiri gagah diatas citadel, ia hendak memotivasi seluruh tentara gabungan Mesir, Syam dan Turki, serta seluruh rakyat Mesir untuk bergerak menuju jihad di jalan Tuhan. Suaranya begitu lantang dan keras, membuat jiwa bergetar, dan mengalirkan air mata, kata-katanya terdengar nyaring, menyerukan jihad paling menentukan dalam sejarah.

jika Mongol memiliki kuda, panah, tameng, dan manjanik. Maka kita punya yang tak terkalahkan oleh apapun, kita punya Allaaaaah,,,,,Azza wa Jalla.”


Suara takbir bergemuruh seisi citadel, semangat pasukan terbakar, dan rakyat  berjanji akan bertempur bersama sultan mati-matian, hingga darah penghabisan.







3 komentar:

  1. Blog ini terlalu menonjolkan beybars...padahal perang ain jalut tak akan ada kalau sekiranya qutuz tidak memaklumatkan perang jihad melawan monggol, sekembali dari ain jalut...bukankah beybars lah yg mendalangi pembunuhan Qutuz...? karena sesungguhnya beybarslah manusia busuk yg berambisi menguasai mesir dan menjadi sultan, karena rakyat mesir sangat mencintai qutuz .....

    BalasHapus
  2. Di tengah perjalanan pulang baybars kudeta dan membunuh qutuz..

    BalasHapus
  3. The Casino Site That Will Make Your Life Better
    Online casino sites are becoming increasingly popular as of this spring, thanks to the launch of the Borgata Hotel Casino & 카지노사이트luckclub Spa and its sister property, the

    BalasHapus