Minggu, 28 Oktober 2012

Masjid Sultan Qaitbay: Permata Yang Dicuri


Usai shalat Jum’at, aku bersama kedua kawanku duduk santai di sebuah kafe kecil di salah satu kawasan pinggiran ibu kota Kairo. Ditemani angin sepoi berdebu, menghembus dari penjuru kawasan yang dipenuhi orang mati ini. Ya, kawasan yang membentang di bawah bukit Mukattam ini bernama City of the Dead, sebuah kawasan pekuburan yang membentang hampir 6 km lebih yang terletak di tenggara Kairo. Sambil meneguk kopi manis, aku sesekali melihat jalanan area pekuburan yang sepi. Sepi sekali. Kafe kecil yang kami singgah ini mungkin menjadi pusat keramaian dan tempat favorit orang-orang sini. Di sini mereka bisa berkumpul, membicarakan negara dan politik, ngobrol masalah kenaikan tabung gas, atau sekedar menghisap hooka bersama teman lama.

di sudut gang sana, tak jauh dari kafe,  rumah-rumah yang berderet tak teratur menebar suasana sepi, terisolasi, dan berteman dengan kesendirian. Mereka hidup sudah lama bersama tumpukan orang mati yang ditimbun di samping rumah sendiri, atau malah di bawah rumah. Sesekali aku melihat anak-anak kecil bermain sepeda. Bertiga bersama kawannya. Mereka melepas jenuh di sini setelah seharian sekolah di kota Kairo sana, mengelilingi gang dengan riang, lalu kembali mengitari kuburan, dan bersatu lagi dengan orang-orang mati pada malam hari.

Toko-toko kecil penjajak jajanan dan minuman terlihat sepi, pemiliknya duduk kesepian di atas kursi plastik. Sesekali tangannya mengusap jenggot putihnya yang berdebu, lalu kembali menatap kosong jalanan sepi dan gang-gang yang hanya sesekali dilewati orang itu. Gelak tawa atau obrolan hanya didengar dari kafe-kafe usang di sini, atau tukang cukur sederhana di sudut gang sana.
area City of The Dead, qorrofa

Dari dulu  kawasan ini memang area pekuburan. Orang Mesir menyebutnya Qorrofah, sebuah nama Kabilah dari Yaman yang datang waktu Amr bin Ash menaklukkan Mesir. kawasan ini sampai sekarang masih dipakai untuk menguburkan orang. setiap hari Jum’at biasanya jalanan di sini akan ramai dikunjungi para peziarah kuburan keluarga atau kerabat. Namun kepadatan di Kairo membuat sebagian orang terpaksa mengungsi ke sini, khususnya pada masa Presiden Gamal Abdul Nassir. Sampai sekarang, mereka tinggal di rumah-rumah kecil yang bersampingan dengan kuburan. Mereka hidup dan bekerja di sini, mencari rezeki dengan membersihkan kuburan keluarga orang lain, menata pepohonan di dekat kuburan agar terlihat segar, atau sekedar menjaga kuburan siang dan malam.



Tradisi ini sudah ada sejak dulu. Dinasti Mamalik di Mesir menjadikan kawasan tandus ini sebagai kuburan bagi sultan atau amir, di samping menjadikan kawasan luas ini sebagai tempat latihan militer atau upacara hari perayaan besar. Bukan hanya kuburan, mereka juga membangun masjid, sekolah, atau khanqah, bangunan antik untuk menyepi para sufi dan pelajar. Tepat di depan kafe tempat kami duduk santai, sebuah bangunan peninggalan islam berdiri megah. Bergeming elegan dengan corak-coraknya yang klasik, merujuk kepada masa pemerintahan Sultan Farag bin Barquq, anak dari pendiri dinasti Mamluk Burji (1380-1517) di Mesir. khanqah raksasa ini dibangun Sultan Barquq untuk tempat menyepi para sufi, juga dijadikan tempat belajar (madrasa). Kemegahannya menjadikan bangunan ini sebagai penawar kesepian dan kesendirian yang sedari tadi kami rasakan ketika berjalan melewati area ini. Kedua menaranya yang elegan membuat kami tidak lagi merasa terisolasi, apalagi ketika memasuki khanqah ini dan melihat kedua kubah raksasanya, seakan menjadi oase di tengah kota orang mati.
nampak dari jauh menara komplek Sunan Inal

Ternyata kami tidak sendirian, kawasan orang mati yang sepi ini menawarkan sederet wisata sejarah dan arsitektur khas islam yang menakjubkan. Khanqah Farag bin Barquq adalah salah satu bangunan terindah di kawasan sunyi ini. Selain Khanqah Farag, di sini juga terdapat komplek Sultan Inal dan Sultan Barsbay, kedua Sultan yang namanya melangit dalam semesta Dinasti Mamluk Burgi di Mesir. kehadiran monument-monument bersejarah di siini membuat kami semangat melewati gang-gang sunyi di sini. Menjelang ashar kami beranjak dari kafe, dan menuju ke sebuah masjid yang juga bersejarah. Mesjid itu adalah yang terindah, terunik, memiliki nilai seni yang tinggi, arsitektur berkelas, dan ukiran-ukiran yang dipahat oleh tangan-tangan luar biasa. Permata arsitektur itu adalah Mesjid Sultan Qaitbay, sebuah mesjid yang merujuk kepada Sultan ternama sejagat islam, sultan yang dikenal penggemar seni arsitektur itu bernama Abu Nasr, Saifuddin Qaitbay.

Qaitbay:  Mamluk Versus Turki Utsmani

Qaitbay dulunya merupakan budak dari Sultan Barsbay, salah satu Sultan Mamluk Burgi yang berhasil Menaklukkan Siprus dan membungkam serangan kristen ke Aleksandria. Karir Qaitbay melejit setelah dibebaskan oleh Sultan Gaqmaq, sampai ia menjadi Atabik  atau panglima pasukan untuk Amir Tamirbugha. Qaitbay dinobatkan menjadi Sultan ketika umurnya 24 tahun. Masa kekuasaanya memanjang hampir 30 tahun (1468-1496), jangka berkuasa yang sangat lama sekali mengingat umur kekuasaan sultan-sultan sebelumnya tidak pernah sepanjang itu. Yang bisa menyainginya hanya Sultan al-Nashir Muhamad pendahulunya.
pemandangan di Qarrafa

6 tahun pertama masa kekuasaannya, semesta Mesir menikmati ketentraman dan kestabilan. Qaitbay menggunakan masa aman tersebut dengan menggalakan pembangunan besar-besaran. Dimulai dari Masjid, madrasah, khanqah, Sabil Kuttab, rub’u (tempat tamu), Haudh (kolam), wekala (Karavanserai), dan lainnya. Seluruh karyanya di dataran Syiria Palestina, Hijaz, dan Mesir mencapai 85 buah, termasuk yang ia dekorasi. Dan istimewanya, setiap bangunan yang dia garap terkenal dengan keindahan arsitekturnya, detail dekorasi dan pahatannya menjadi nilai keindahan islam tak terlupakan sampai sekarang.

Antara tahun 1485-1491, dunia islam menyaksikan adanya ketegangan antara Dinasti Mameluk di Mesir dengan Dinasti Turki Ustami, Dinasti raksasa yang baru saja menaklukkan Konstantinopel, mimpi sang Nabi SAW.

Tahun 1485, semesta Turki menyaksikan penobatan sultan Beyezid II di Istanbul. Beyezid adalah anak tertua dari sultan Muhamad el Fatih, sultan Usmani yang berhasil mewudujkan impian baginda Nabi Muhammad SAW dengan menaklukkan kota impian Konstantinopel. Beyezid II bersaing dengan saudaranya sendiri Amier Djem. Djem mendapatkan support di kawasan Anatolia untuk menumbangkan kakaknya dan berambisi merebut posisi Sultan. Bayazid geram dan menggempur adiknya sendiri. Djem kalah dan melarikan diri mencari perlindungan. Qaitbay yang waktu itu menjadi Sultan, membuat keputusan untuk menerima Djem di Mesir dan memberikannya perlindungan. Tak ayal, sikap Qaitbay ini membuat seluruh semesta Turki Usmani kebakaran jenggot. Bayazid sudah ancang-ancang akan menggempur Mesir tanpa ampun.

Ketegangan antara kedua dinasti raksasa islam ini baru berakhir pada tahun 1490 M, kedua dinasti mendapati jalan buntu dan tidak ada satu pihakpun yang menang maupun kalah meski telah melakukan beberapa peperangan di dataran Anatolia.

Perebutan kekausaan tak berkesudahan di dataran Syiria ini harus mendapatkan ganjaran menyedihkan dan menyakitkan. Saudara mereka, Dinasti Nasrid di Granada harus menemui ajal kekuasaannya. Istana Alhambra berhasil direbut Raja Kristen Ferdinand yang beraliansi dengan Ratu Issabela. Kekuasaan islam di tanah Spanyol yang membentang hampir lima abad harus runtuh menyedihkan. Umat islam dan Yahudi di sana diusir, atau dipaksa masuk kristen oleh akuisisi gereja. Sebuah ganjaran menyakitkan untuk umat islam yang waktu itu masih saja memperebutkan kekuasaan. Tahun 1492 M menandakan runtuhnya wajah islam di Spanyol, masa kegemilangan toleransi dan ilmu pengetahuan di sana harus padam, lalu digantikan oleh wajah Eropa yang fanatik.

Tahun 1496 M, empat tahun setelah bumi Andalus ditaklukkan kembali oleh Kristen (reconquesta), sultan Qaitbay menderita penyakit wabah hitam yang kembali masuk ke Mesir. ia wafat setelah meninggalkan negaranya dalam kondisi tidak stabil, hubungan dengan Turki Usmani yang masih memburuk, dan ekonomi yang sulit diselamatkan. Pada tahun 1517 M, bebarapa tahun setelah Qaitbay wafat, Mesir berhasil digempur oleh Selim I, anak dari sultan Bayazid yang sangat berambisi untuk menghabisi Mesir tanpa ampun. Gempuran dari Turki tersebut menandakan berakhirnya kekausaan Dinasti Mameluk di Mesir yang membentang ratusan tahun lamanya.

Mesjid Sultan Qaitbay; Permata Yang Dicuri

bagian atas pintu depan masjid, di atasnya nampak muqornas
Aku mengenang sejarah itu sembari menatap dari dekat salah satu karya Qaitbay yang terpampang elegan di depanku. Diam bergeming di antara rumah-rumah yang bisu dan jalanan yang sunyi. Seakan harta karun di tempat antar berantah. Karya-karya Qaitbay tidaklah seraksasa bangunan yang digarap oleh sultan al-Nashir Muhamad sebelumnya. Mesjid ini terbilang sederhana dan proporsional. Masa Qaitbay adalah masa emas seni ukir batu. Begitu juga batu marmer yang selalu ditemukan di bagian depan bangunan. Jika dibandingkan dengan arsitektur masa al-Nashir, arsitektur Qaitbay lebih homogen, tidak terlalu banyak ide baru, element asing atau inovasi yang berani. Masa Qaitbay lebih kepada konsolidasi arsitektur daripada inovasinya.

Mesjid mungil tapi antik ini dilengkapi oleh Sabil Kuttab yang terletak di kiri Mesjid dan menara di sebelah kanannya. Di atasnya dihadiahi kubah raksasa yang artistik, dibalut pahatan dan ukiran yang rumit dan semakin mengukuhkan kegemaran Sultan ini terhadap seni bangunan.
interior masjid

Masuk ke dalam mesjid, lagi-lagi aku dihempas oleh ketakjuban. Qaitbay memang benar-benar Sultan yang “gila” terhadap keindahan. Interior mesjid dihiasi oleh dua iwan dan dua ceruk, keduanya ditaburi dengan ornament berwarna yang menyegarkan. Juga, yang membuat dalam mesjid ini serasa sejuk dan bernuansa gothik, adalah jendela dengan kaca berwarna (stained glass) yang dipasang di bagian atas mesjid. Kaca-kaca berwarna itu menyemburatkan paduan warna yang indah, membuat mesjid mungil ini nampak elegan. Melihat ke atas, mataku terbelalak oleh langit-langit mesjid ini yang indah, terbuat dari kayu elegan membentuk oktagonal yang diberi warna segar dan bercahaya.

Berada di dalam mesjid seakan memasuki dunia seni tingkat tinggi, sebuah dunia yang kontras dengan apa yang ada di luar sana. Di sini memang senyap, tapi ditemani oleh dunia keindahan dan warna. Di sini memang sunyi, tapi di temani oleh cahaya yang memancar indah dari jendela berwarna itu, membuat aku betah duduk berlama-lama di sini.

Ketika kami keluar mesjid, kami dikagetkan oleh apa yang kami lihat. Hiasan pintu mesjid yang terbuat dari besi membundar ternyata hilang. Dicongkel dari tempatnya. Kami dengar dari penduduk setempat, bundaran besi itu dicuri dua minggu sebelum bulan Ramadhan kemarin. Sayang sekali, bagian keindahan mesjid ini harus dirusak oleh orang-orang yang tidak menaruh penghormatan kepada nilai sejarah dan seni arsitektur. Hilangnya hiasan pintu mesjid ini membuat Qaitbay menangis, permata yang ia titipkan untuk generasi umatnya ternyata harus dicuri. Kini mesjid bersejarah ini hanya dibuka ketika waktu shalat saja. Wajah para penduduk yang shalat di sini terlihat masam dan muram, mungkin merasa kehilangan dan menyesal, harta karun yang ditipkan kepada mereka tidak bisa mereka jaga dan pelihara.


***

Siang yang Sunyi di Qarrafah, 12 Oktober 2012


Rujukan;

Richard Yeomans, The Art and Architecture of Islamic Cairo, Garnet Publishing, 2006
Doris Behrens-Abouseif, Islamic Architecture in Cairo; an Introduction, American University in Cairo Press, 1989
Abdul Rahman Zaki, Bunat el Qohirat fi Alfi ‘Am, Maktabah Usroh, 1998
Caroline Williams, Islamic Monuments in Cairo, The American University in Cairo Press, 2008
wikipedia
jendela dengan kaca berwarna (painted glass)

menara dan kubah masjid





langit-langit tengah masjid

berkontemplasi di masjid






bagian pintu yang hilang dicuri
berpetualang di Kota Mati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar