kota Mansoura membeku di
musim dingin. Sisa-sisa kabut dari sudut jalanan masih membayang,
menyembunyikan langkah langkah keledai yang ditunggangi penjajak sayuran.
Kedai-kedai kopi masih sepi, sementara sebagian toko masih tutup, di depan
pintu toko hanya tersisa beberapa gelas bekas teh yang sudah dinikmati tadi
malam. Yang ramai hanya penjual makanan khas Mesir, penjual full dan falafil akan selalu
ramai kapanpun. Hari-hari menjelang ujian awal semester ini aku lebih sering
membungkus diri dengan selimut di kamar. Menyentuh air pagi hari adalah pilihan
berat, harus berani menggigil dalam beberapa menit. Seharian mempersiapkan
materi ujian terasa membosankan. Diktat-diktat kuliah masih saja tebal untuk
dirampungkan, apalagi sebagian buku dicetak oleh percetakan usang yang terlalu
percaya diri, sehingga tidak saja tulisan sulit dibaca, font yang digunakannya
saja tidak jelas dan tidak berkualitas.
Tiba-tiba aku ingin kembali
menjelajah. Menikmati arsitektur dari berbagai masa merupakan kesenangan
tersendiri bagiku, apalagi ketika bersinggungan dengan sejarah kemanusiaan dan
peradaban yang menakjubkan. Di kamar yang membeku ini, ingatanku langsung
terhempas pada mesjid-mesjid tua usang di Kairo. Siapa yang bisa melupakan
kemegahan mesjid kembar Sultan Hasan dan Rifai. Siapa saja yang pernah
mengunjungi Mesjid Sultan Barquq yang terletak di Jalan Mu’iz akan sulit
melupakan keindahan dan kemegahan arsitektur dan ornamen yang dimiliki mesjid
itu. Madrasah-madrasah abad pertengahan masih menceritakan kepadaku tentang
proses belajar mengajar yang kental akan toleransi. Khanqah-khanqah raksasa masih saja
menyisakan nuansa mistik dan membuat hati bergetar tatkala mengingat
sosok-sosok sufi yang menyepi disana. Gerbang-gerbang raksasa Zuwaila, Futuh,
Nasr, selalu mendengungkan kisah-kisah epik masa-masa silam, membuatku teringat
filem-filem kolosal seperti Kingdom
of Heaven, Braveheart, dan Lord
of The Ring.
Siang hari, aku bersama
kawanku berjalan melewati gang-gang sempit. Disisi jalan, banyak sekali
tumpukan sampah yang berserakan dibiarkan. Kota-kota di Mesir memang jarang
memiliki tempat sampah umum. Orang-orang pede
itu dengan santainya melempar sampah ke sisi jalanan umum.
Membuatku mengendus bau busuk dan membuat kota pengantin ini tercemar
kebersihannya. Tetapi lagi-lagi, aku terobati dengan melihat perempuan Mansoura
yang terkenal cantik dan menawan. Mereka lalu lalang sepanjang kota, suara tawa
mereka yang ringan terdengar merdu. Gaya pakaian mereka modis, ada yang membuat
mata terbelalak beberapa detik, ada juga yang adem dipandang. Rona merah di
pipi mereka serasa jelas, alis yang sedikit jarang digabung dengan bola mata
yang sedikit berkilauan membuatku melupakan aroma-aroma tidak sedap sepanjang
jalan. Wajah gadis-gadis itu sangat berbeda dengan gadis-gadis yang hidup di
negara-negara teluk. Wajah gadis Mansoura lebih merupakan perpaduan antar ras,
darah, warna kulit, dan rona wajah yang berbeda-beda. Melihat wajah mereka, aku
serasa melihat paras khas orang-orang Eropa, tetapi juga merasakan dengan
kental paras arab yang rupawan. Perpaduan ini menciptakan kecantikan tersendiri
yang dimiliki gadis-gadis itu, membuatku betah berlama-lama menelusuri jalanan
di kota ini.
Dar Ibnu Lukman, tempat Raja Louis IX ditahan |
Dar Ibnu Lukman |
Sampai di jalan Port Said,
aku melihat bangunan kecil tempat ditawannya Raja Louis IX. Bangunan ini
bernama Dar ibnu Luqman. Louis
ditawan disini setelah kalah dalam perang Mansoura (1249-1250 M). Setiap kali
melihat tempat tawanan ini, ingatanku langsung melayang-layang pada peperangan
epik yang terjadi disni. Mengingatkanku kepada deretan panglima-panglima muslim
yang berhasil membuat Mesir tidak terjebol, juga membuatku mengingat sosok
salah satu Sultan Dinasti Ayubiyah terkenal, Shaleh Najmuddin Ayyub (1205-1249
M), yang memimpin Mesir kala itu.
Dibelakang Port Said Street
terdapat jalan Awwal Abbasi, aku tidak mengira di sini ternyata terdapat mesjid
bersejarah. Mesjid ini sangat kental dengan nuansa silam. Warna mesjid sangat
kontras berbeda dengan warna bangunan disekelilingnya. Berdiri megah tapi pucat
ditengah tumpukan toko-toko yang berisik, dan bergeming diantara lalu lalang
kendaraan yang sibuk disini. Bagian yang masih utuh hanya bagian atas mesjid,
warna merah dan coklat yang dipadukan bergaris-garis begitu kontras. Cekungan
stalaktit pada menara membuatku kembali mengingat mesjid-mesjid tua di Kairo.
Ternyata gaya arsitektur itu masih aku dapati di Mansoura. Melihat warna
mesjid, ada sedikit perbedaan ketika dibandingkan dengan semua bangunan
Ayubiah. Warna merah bergaris-garis dan diselingi warna coklat (ablaq) membuat
mesjid ini lebih mirip Khanqah dan Madrasah Faraj bin Barquq (dibangun pada
masa Mamluk Burji awal) yang terletak di Qarrafa, City of The Dead. Corak ablaq
ini juga didapati di madrasah Kamiliyah di Kairo, salah satu madrasah garapan
Dinasti Ayubiah di Mesir. Jendela berbentuk trilobit juga serasa masih megah
dan mempunyai nuansa Eropa, ditaburi tiga lubang berkaca mosaik dan membentuk
bulatan indah. Menaranya menjulang tinggi. Menara ini sangat berbeda dari
menara-menara yang marak pada masa Ayubiah kala itu, stalaktik yang rumit,
ukiran-ukiran yang ditaburi ornamen membuat menara ini mirip menara-menara yang
dibangun generasi islam setelahnya. Sepertinya para Mamalik terinspirasi dari
menara ini ketika mereka membangun puluhan mesjid yang bertebaran di
Kairo.
Memasuki mesjid ini,
perasaanku girang luar biasa. Akhirnya bisa menikmati nuansa klasik lagi
setelah lama tidak berkunjung ke mesjid-mesjid tua di Kairo. Tapi sedikit
mengecewakan. bagian dalam mesjid ini sudah dicat sedemikian rupa.
dinding-dindingnya yang seharusnya berwarna coklat tua malah dicat putih.
tempat shalat dan mihrab berada di lantai dua, dihubungkan dengan tangga yang
juga sudah banyak dilakukan perubahan konstruksi. Diruangan tempat mihrab
berada, suasana klasik mesjid ini sedikit menghilang. seisi ruangan dicat
dengan cat putih moderen. yang tersisa hanya bentuk jendela yang memanjang dan
diujungnya terdapat kaca berwarna (stained glass) membundar. jendela kayunya masih utuh.
yang disayangkan, bagian klasik mesjid ini hanya bisa dilihat dari luar, itu
juga bagian atas saja. Bagian bawah mesjid sudah diganti oleh jejeran toko dan
ruko.
Masjid Najmuddin Ayyoub |
Sejarah mengenai mesjid ini
tidak begitu banyak, buku-buku yang menggambarkan mesjid di kairo tidak pernah
menyinggung tentang permata arsitektur yang kesepian ini. Mungkin karena
letaknya jauh dari Kairo, kota Mansoura terletak 120 km dari Kairo. Sumber
sejarah tidak banyak
menyebutkan tahun dibangunnya mesjid ini, ada yang
mengatakan dibangun tahun 1240 M, tahun ini adalah tahun Najmuddin pertama kali
menjadi Sultan Ayubiah dan menguasai Mesir. Mesjid ini selain untuk shalat,
juga untuk tempat istirahat para budak Najmuddin. Mereka datang dari Kairo dan
istirahat di mesjid ini. Shaleh Najmuddin Ayub terkenal memiliki budak yang
setia, ia melatih para budaknya sejak mereka kecil, dan menempatkannya di pulau
Rouda, Miniel sekarang. Mamalik asuhan Shaleh Ayyub terkenal dengan nama Mamluk
Bahri, karena mereka tinggal di benteng Rouda yang dekat dengan sungai (bahr)
Nil.
Sultan Shaleh Ayyub
dan Memori Perang Salib ke-7
Sultan ketujuh dinasti
Ayyubiah ini bernama lengkap Al Malik Al Shaleh Najmuddin Ayub bin Al Malik Al
Kamil Muhammad bin Adil. Memerintah dari tahun 1240-1249 M. Shaleh Ayub
terkenal telah membentuk Mamalik Bahri yang kemudian hari meneruskan tampuk
kekuasaan di Mesir. Najmuddin Ayub (aku lebih suka menyebutnya Najmuddin Ayub
daripada Shaleh Ayub) adalah sultan yang hidup di masa peperangan mengerikan
yang berulang kali terjadi di bumi Mesir.
Pemandangan sungai Nil Mansourah |
Pada tahun 1218 M, Mesir diserang
oleh Pasukan Salib pimpinan John of Brienne (1155-1237 M). Kala itu Najmuddin
masih berumur 12 tahun. Ribuan tentara salib Eropa bertolak dari Acre, mereka
menuju tepi barat kota Dimyath. Ayah Najmuddin Ayub, Al Malik Al Kamil Muhammad
bin Adil geram dan berangkat dari Kairo menuju Dimyath. Pasukan salib yang
besar membuat Al Malik Kamil kewalahan. Pada masa genting itu, sultan Adil
(kakek Najmuddin) meninggal dunia dan tampuk pertahanan Mesir ia serahkan
kepada Al Malik Al Kamil. Setelah 16 bulan tentara Salib mengepung Dimyath,
akhirnya mereka berhasil menguasai kota besar itu secara keseluruhan. Ketika
mereka hendak berangkat menuju kairo, mereka dihadang oleh pasukan muslim yang
berjumlah besar. Pasukan muslim mengepung mereka dari berbagai penjuru, hingga
akhirnya pasukan salib menyerah dan melakukan perjanjian damai dan gencatan
senjata dengan Al Malik Al Kamil. Pada tahun 1221 M, Dimyat kembali dikuasai
tentara muslim.
Setelah itu, dinasti
Ayubiah menjadi goyah karena terlibat perseteruan antar saudara. Sesama saudara
saling berebut kekuasaan dan pengaruh, membuat mereka harus menghunuskan mata
pedang ke wajah saudara kandung sendiri. Semesta Syam, Asia Tengah, dan Suriah
waktu itu terjadi pergolakan panas antar beberapa kubu. Sejarah mencatat dalam
kurun tahun-tahun itu berbagai kejadian besar. Kejadian-kejadian itu terlampir
pada buku-buku sejarah yang sampai sekarang bisa dinikmati. Sampai akhirnya
Najmuddin Ayub menjadi sultan Ayubiah dan menguasai Mesir pada tahun 1240
M.
Pada tahun 1245 M, Paus
Innocent IV memberikan ultimatum kepada pasukan salib prancis untuk menyerbu
Mesir dan membungkam mereka dari pertikaian tidak berkesudahan di dataran Syam
dan Suriah. Gereja Eropa mempercayakan bendera salib kepada raja Prancis, Louis
IX. Gereja juga mewajibkan masyarakat disana untuk mengumpulkan uang demi
membiayai pasukan raksasa yang akan berangkat ke Mesir.
Perang salib yang tujuannya
merebut Yerusalem, kini bertolak ke bumi kinanah, karena Mesir merupakan
satu-satunya benteng terkuat pasukan muslim kala itu. jika Mesir tumbang, jalan
menuju Yerusalem akan mudah.
![]() |
Raja Louis IX |
Pagi hari tanggal 5 Juni
1248 M, pasukan prancis tiba di Dimyath. Louis mengirim surat kepada sultan
Shaleh Ayyub berisi ancaman kepadanya dan memerintahkannya untuk menyerahkan
Mesir ketangan mereka. Sultan Najmuddin Ayub kebakaran jenggot, dan kembali
mengancam Louis dengan kekalahan yang mengerikan akan menimpa pasukannya jika ngotot menyerang
Mesir.
Najmuddin mengerahkan
panglima handalnya bernama Fakhruddin Yusuf (wafat 1250 M). Fakhruddin
berangkat ke Dimyat dengan pasukannya yang berjumlah besar, sementara lautan di
tepi Dimyath dipenuhi oleh skuadron pimpinan Hisamuddin bin Abi Ali. Akan
tetapi, pasukan darat muslim tidak dapat membendung serangan pasukan salib yang
bertubi-tubi. Fakhruddin terpaksa mundur ke kamp pertahanan muslim yang ada di
kota Asymum. Dimyath menjadi goyang dan tidak stabil, bahkan orang-orang arab
yang ikut berperang berlarian melarikan diri. Pasukan Salib dengan mudah
menguasai Dimyath dan mengubah mesjid-mesjidnya menjadi katedral. Najmuddin
Ayub membentak Fakhruddin dengan keras, ia berkata kepadanya; “apakah kalian
tidak mampu menghadang pasukan Frank itu meski sejam?”
Najmuddin geram dan
memberikan ultimatum umum kepada semua rakyat Mesir untuk mempersiapkan diri
mempertahankan Mesir dari bangsa Frank (pasukan salib). Dengan suara
menggelegar Najmuddin membacakan ayat-ayat Quran penyemangat; Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan
merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Dengan
serempak warga Mesir berangkat berduyun-duyun ke Mansoura, mereka akan memberi
dukungan kepada para pasukan disana, dan berjuang mati-matian demi negara yang
mereka cintai.
Pada tahun 1249 M, setelah
pasukan Salib menguasai Dimyath selama 6 bulan, Louis berangkat bersama ribuan
pasukannya menuju Kairo. Pasukan muslim sudah siap-siap di tepi sungai Asymum,
mereka mendirikan pangkalan, benteng dan pagar-pagar yang kokoh. Pada saat itu,
kedua pasukan saling bertempur. Manjanik berkali kali melemparkan bola api,
melayang-layang dilangit-langit Mansoura. Parit-parit digali dekat kamp
masing-masing, sementara sungai nil dipenuhi teriakan teriakan kemarahan. Suara
takbir terdengar menggema gema dari setiap sudut. Jembatan yang diabangun untuk
mencapai kamp pasukan muslim berkali kali dihancurkan oleh bola api dari
manjanik. Suara pedang terdengar nyaring menyayat telinga. Tameng-tameng logam
mengeluarkan percikan api ketika diadu satu sama lain. Di tengah kecamuk perang
itu, Sultan Najmuddin Ayub meninggal dunia pada 23 Nompeber 1249 M. Najmuddin
meninggalkan Mesir setelah 9 tahun memerintah. Selir Najmuddin, Shajarat Dur
memindahkan mayat Najmuddin secara diam-diam ke kediamannya di Pulau Rauda,
kairo. Kabar kematiannya disembunyikan untuk menjaga stabilitas mental pasukan
yang masih bertarung di Mansoura.
Kabar kematian Najmuddin
ternyata dicium oleh pasukan Salib. Mereka dengan penuh semangat berapi-api
menembus barikade pasukan muslim dan berhasil menyebrangi sungai Asymum. Mereka
tiba di kamp pertahanan muslim di Gedela. Disana, Fakhruddin Yusuf terbunuh dan
pasukan mundur ke Mansoura. Farisuddin Aqthai tampil menggantikan Fakhruddin.
Di Mansoura, ribuan tentara yang dibantu warga sipil secara serempak menyerbu
pasukan salib yang tiba di sana, Farisuddin dibantu oleh ahli perang monumental
yang dikemudian hari menjadi sultan Mamluk, Baybars Bunduqdari.
Pasukan salib kewalahan dan
mundur kembali ke Dimyath.
Di daerah Farskur, mereka
akhirnya kalah dan Louis IX menyerah kepada kaum muslim. Louis akhirnya
dijadikan tawanan dan mendekap dirumah Ibnu Lukman. Ia ditawan bersama saudara
dan sebagian panglima perangnya selama satu bulan. Setelah itu, istrinya
meminta ia ditebus dengan uang yang sangat besar. Kaum muslim juga meminta
Dimyath dilepaskan. Pada tahun 1250 M, kota yang dulunya delilingi taman dan
berbunga ini dinamakan Manshuroh, yang berarti kota yang tertolong. Sampai
sekarang, kota Mansoura ini masih menjadi kota yang besar, indah, dan memiliki
panorama pemandangan yang menakjubkan disamping menyimpan perjalanan sejarah
yang besar.
Najmuddin Ayub dan
pasukannya berhasil memukul mundur ekspansi perang salib. Hingga akhirnya
membuat Mesir menjadi benteng yang sulit dijebol oleh mereka dalam beberapa
tahun ke depan. Setelah Najmuddin tiada, obsesinya diteruskan oleh budak yang
dulu diasuhnya. Pada tahun 1260 M, budak-budak yang dulu dididiknya berhasil
memukul mundur pasukan Mongol di Ain Jalut. Baybars Al Bunduqdari adalah sosok
budak Najmuddin yang kemudian hari bersinar, namanya harum dalam semesta
sejarah islam.
Najmuddin menyisakkan
kenangan tentangnya di Mansoura melalui mesjidnya yang sampai sekarang bisa
dinikmati baik arsitekturnya atau memori sejarahnya. Membuat kota pengantin Nil
ini bukan saja memiliki pemandangan yang menakjubkan, gadis gadis rupawan,
tetapi juga menyimpan sejarah masa silam yang epik luar biasa.
Further reading:
Misr Baina Hamlatai Louis wa Napoleon, Dr. Faraj Muhamad Washif
Crusades; The Illustrated History, Thomas F. Madden
Atlas al Hamalat al Shalibiyyah 'ala al Masyriq al Islami, Sami bin Abdullah bin Ahmad al Magluts
NB: photo diambil dengan menggunakan Kamera Canon Power Shot SX120 IS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar